Home
»
Posts filed under
George Herbert Mead
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead
(1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya
adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological
Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis
dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang
aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind),
namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun
sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut
bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai
dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap,
realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana
dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari
interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu
saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung
antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan
tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain.
Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara
stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang
aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.
Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke
arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang
berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap
bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok
dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.[4]
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi
sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari
kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan
yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi
intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I
Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian
Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di
sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita
akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis
ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang
dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ
Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme
simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep
Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak
di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian
gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan
melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama
sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk
manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di
tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses
pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint
Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan
masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut
Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang
salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah
semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti”
dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’
adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu
psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah
berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan
teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran
kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme
simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang
telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari
individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi
yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori
Interaksionisme Simbolik.
Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah
tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri
atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan
sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan
sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat
demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley
berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial
abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada
aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari
perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley
berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai
individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,
namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan
penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia
secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki
pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang
individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka
proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”
Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu
maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang
saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan.
”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling
bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya
membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda
pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya
pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk
memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung
melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang
saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang
bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang
Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang
utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum.
Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari
masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga
merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil
dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol,
kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi
mental dari individu-individu dan dipelihara melalui
kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan
secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita
(familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika
institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi
mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial,
namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya
terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu
“Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama,
Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai
diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana
yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001.
Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta:
Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
TES
7:40:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Interaksionisme Simbolik ( Mead )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:40:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)