Home
»
Posts filed under
Interaksionisme Simbolik
Uang receh adalah uang koin yang memiliki
nominal yang lebih kecil dari pada uang kertas.
Uang receh juga sering disebut uang logam, uang koin ataupun uang pecah oleh
masyarakat. Uang receh menjadi bagian dari kehidupan ekonomi sebagian
masyarakat. Di dunia marketing, uang receh punya peran dalam pembentukan odd
price. Orang Marketing senang menggunakan odd price, yakni harga
psikologis untuk membuat konsumen merasa bahwa produk yang dibeli tidak mahal.
Kita bisa melihat odd price ini seperti 9.999 atau 5.555. Selain
membuat produk terkesan tidak mahal, odd price diperlukan untuk
menjaga harga agar tetap kompetitif dibandingkan competitor
Kehadiran uang receh juga memiliki makna
tersendiri bagi mahasiswa . Dari
hasil Observasi dan wawancara mahasiswa-mahasiswi salah satu universitas negeri disurakarta ), mahasiswa ini mempunyai perlakuan unik terhadap
uang receh sesuai dengan latar belakangnnya masing-masing dari yang
mengganggapnya hanya sebagai nilai tukar yang kecil sampai ada yang menganggap
bahwa uang receh adalah sesuatu yang “amazing”.
Berbagai fenomena gerakan social yang menggunakan uang receh sebagai medianya ternyata sedikit banyak juga mempengaruhi persepsi mahasiswa-mahasiswa
ini tentang makna uang receh baginya. Bahkan
beberapa dari mahasiswa ini terlibat dalam gerakan-gerakan social yang
menggunakan uang receh sebagai medianya.
B. Herarki Oposisi Makna uang receh
Uang Receh adalah salah satu jenis uang yang sah
digunakan sebagai alat tukar. Di lingkungan kampus yang padat dengan jadwal
kuliah , peredaran uang receh juga menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa.
Mahasiswa Kos dan mahasiswa yang yang
mempunyai pekerjaan sampingan ternyata akrab dengan uang receh ini. Mahasiswa
mahasiswa ini biasanya mendapatkan uang receh dari berbagai kegiatan, ada yang
dari uang kembalian belanja, maupun dari menemukannya dijalan. Kebanyakan dari
mahasiswa menggunakan uang receh sebagai alat pembayaran ketika kondisi
keuangan mereka sedang “seret”. “ Ya pake
uang receh kalo kondisi keuangan lagi seret aja, kalo punya uang besar yang
nggak pake recehan ,”kalo lagi kepepet
ya nggak malu apalagi kalo pake tantangan lebih nggak tau malu lagi
bayar pake uang recehan ,uang receh kan juga duit sah ”, jawab
arif seorang mahasiswa sosiologi antropologi yang kemarin sempat saya
wawancarai . Beberapa mahasiswa
berpendapat bahwa uang receh memang mempunyai
keterbatasan dalam segi nilai dan
kepraktisan. Arnas seorang mahasiswa pengumpul uang receh yang ketika itu saya wawancarai
berkata bahwa “uang receh itu kalau
dibawa krincing-krincing bunyinya jadi disimpen di kos aja” hal ini
menandakan bahwa uang receh memang begitu sulit dan merepotkan ketika akan
dibawa kemana-mana. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih untuk
mengumpulkannya daripada harus menggunakannya dalam kegiatan ekonomi. Seperti
yang dilakukan oleh Fedri salah satu mahasiswa yang juga bekerja paruh waktu
diwarung nasi uduk “Cak Noer” ia mengumpulkan uang receh dengan berbagai
nominal sampai bertoples-toples jumlahnya dari pada membelanjakannya.
Uang receh sebagai uang hanya dipandang sebagai alat
tukar dan satuan hitung yang bersifat kecil ,misalnya ketika digunakan dalam
suatu kegiatan ekonomi, Uang receh hanya mampu menjangkau barang-barang yang
harganya relative murah. “Pernah juga beli
barang dengan uang receh tapi sangat
jarang ya kalau kondisi lagi kepepet aja . paling besar belanja dengan uang
receh sebesar Rp. 5.000,- terdiri dari Pecahan Rp200,- sampai Rp. 500,-
jawab arif. “Pernah juga belanja dengan
uang receh tapi sangat jarang . paling besar belanja dengan uang receh sebesar
Rp. 3.000,- terdiri dari Pecahan Rp. 500,- Untuk membeli Gorengan Di dekat
rumah soalnya yang jualan tetangga sendiri kalau bukan tetangga sendiri ya
nggak pake uang receh ”jawabnya.
C. Oposisi Biner tentang makna Uang
receh
Menurut George
Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan
erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self)
menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang
lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan
dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba
memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep
diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik
pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif
berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai
pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena
interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian
membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang
dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian
atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri
obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang
bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.
Menurut
Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah
berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu
yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran
dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja
menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum
perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri
kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka
bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang
lain menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan
menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi
interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan
perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga
premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;
1. manusia bertindak berdasarkan
makna-makna,
2. makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain, dan
3. makna tersebut berkembang dan
disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung
Pemaknaan uang receh sebagai alat tukar
kini mulai luntur. Dengan segala keterbatasannya kebanyakan mahasiswa lebih
memilih uang kertas dari pada uang receh sebagai alat tukar atau alat
pembayaran. Alasannya jelas, uang kertas yang notabene bernominal besar lebih simpel
dan praktis dalam pembawaan maupun penggunakannya. Dibandingkan dengan nilai tukarnya, nilai
simbolik uang receh ternyata lebih mempunyai daya tarik tersendiri kususnya
bagi mahasiwa-mahasiswa ini. Makna Simbolik dari sebuah uang receh ternyata
sempat menjadi fenomena besar dimasyarakat. Pergerakan social menuju perubahan
dapat terjadi olehnya. Uang receh digalangkan untuk
melawan ketidakadilan hukum pada kasus prita , uang receh digunakan
sebagai bentuk riil dari sebuah rasa
peduli terhadap sesama seperti kasus bilqis dan juga uang receh pun kerap disebut dengan uang
pengemis atau pengamen karena penggunakannya yang seakan diperuntukan pada
mereka. Hal ini merupakan contoh nyata dimana uang receh lebih dipahami sebagai
sesuatu yang bersifat simbolik. Banyak mahasiswa yang menjadikan fenomena ini
menjadi pijakan bahwa uang receh lebih bermakna nilai simboliknya dari pada
nilai tukarnya. Selain seperti hal diatas mahasiswa juga memiliki pemaknaan sendiri terhadap
nilai uang receh sesuai dengan kepribadiannya masing masing. Mahasiswa seperti
Arnas yang seorang yang mempunyai naluri
seni Misalnya, ia memandang uang
receh sebagai symbol kreatifitas. Menurutnya ada beberapa kegunaan uang receh
yang tidak diketahui banyak orang. Uang receh ditangannya bisa dibuat karya
seni keajinan tangan. “uang receh itu
saya kumpulkan buat koleksi aja atau buat pajangan lalu kalo ada waktu senggang
saya susun jadi castile, patung atau mobil-mobilan”,jawabnya. “Uang receh itu awet, dengan bahan dasar yang
tidak gampang rusak itu uang receh dapat dimanfaatkan untuk membuat hiasan atau
karya seni yang indah bernilai jual tinggi . “ Dulu Saya pernah membuat
tumpukan uang receh berbentuk rumah dan ditawar oleh teman saya untuk mahar
pernikahannya sebesar Rp. 1 Juta tapi tidak saya berikan”, jawabnya .Menurutnya tidak etis jika memperjual
belikan uang untuk mendapat uang membuatnya pun juga susah susah gampang. (Wawancara
dengan arnas mahasiswa pendidikan sosiologi antropologi 2009b yang
merupakan mahasiswa yang hobi mengumpulkan
uang receh ).
Pemakanaan lainya juga diberikan oleh
Gigih mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi yang sangat rutin mekakukan
perjalanan Solo-Sragen dengan sepeda motornya untuk mengikuti kegiatan kegitan
perkuliahan setiap harinya., Menurutnya uang receh merupakan simbolisasi dari
rasa kebersamaan dan gotong royong warga didesanya. “Pernah nyumbangdan ikut jaga malam, Untuk Jimpitan semacam iuran atau sumbangan
perumah untuk kas ronda yang biasanya digunakan uang membelikan makanan atau
minuman untuk yang jaga ronda”,jawabnya. jimpitan salah satu contoh dimana uang receh berfungsi sebagai pembentuk
rasa kebersamaan dan gotong royong antar warga kampung. Uang receh menjelma
menjadi suatu sarana bagi setiap warga desa untuk menunjukan rasa solidaritas
dan patisipatif kepada sesamanya yang sedang melakukan jadwal ronda malam.
Pemaknaan lain juga
di berikan oleh mahasiswa - mahasiswa yang mempunyai latar belakang organisasi.
Ardana dan Pendi misalnya, menganggap uang receh sebagai simbolisai dari
rasa kepedulian terhadap sesama. “ Pernah menggunakan uang receh , Ketika bakti sosial dan
menggalang dana untuk para korban merapi dulu.Sebagian besar orang memiliki
uang receh . ketika ada kegiatan sosial seperti
penggalangan dana misalnya untuk korban bencana, infak, pembangunan
jalan, disinilah uang receh dapat menyentuh berbagai lapisan sosial
masyarakat. ”Uang receh itu sebenarnya
uang yang simpel sayang masyarakat kita saja yang belum tahu cara
memanfaatkannya ”,jawabnya dengan 1 coin
uang receh dapat menunjukan rasa kepedulian kita terhadap sesama. ”justru karena
nilainya yang kecil itu uang receh cocok digunakan sebagai media gerakan sosial
yang melambangkan kekuatan rakyat”,tegasnya ( Wawancara dengan pendi dan ardana yang
merupakan mantan pengurus himpunan mahasiswa prodi Sosiologi Antropologi).
Organisasi memberikan berbagai pengalaman kepada mereka tentang pergerakan
sosial beserta realitasnya. Menggunakan uang receh sebagai infak merupakan
salah satu wujud dari rasa peduli tersebut. Uang receh dapat menyentuh semua
kalangan, dengan nilainya yang kecil itu hampir semua elemen msyarakat mudah
hal inilah yang menjadikan uang receh sebagai
simbolisasi dari kekuatan rakyat (Masyarakat kelas bawah).
Uang receh juga dimaknai berbeda oleh Fedri mahasiswa yang bekerja paruh
waktu di warung nasi uduk dan juga mempunyai bisnis kripik tahu ini. Menurutnya
Uang receh adalah sebagai media kritik yang dapat mempengaruhi mood seseorang
terutama pedagang. “Selain
Untuk belanja kripik, Saya biasanya juga
pake uang receh untuk member pelajaran para agen kripik tahu ketika tahu yang saya
beli ternyata sudah mlempem atau cacat produksi”, jawabnya Uang receh itu unik
kalau ada biasanya tidak terlalu diperhatikan tetapi kalau tidak ada orang
malah bingung mencarinya. “ uang receh itu dapat mempengaruhi mood
seseorang.”saat itu saya belanja keripik tahu sebesar Rp. 140.000,- dengan uang
receh, si penjual yang pada mulanya ramah dan murah senyum berubah jadi pasang
muka jutek, nada bicaranya pun menjadi tidak ramah “Uang receh itu memang tidak
praktis, menyita banyak tempat, dan orang sering memandang remeh karena
nilainya yang kecil Uang Receh itu alat pembayaran yang sah dinegara Indonesia “biarpun
nilainya kecil, uang receh jadi bagian dari hidup saya, uang saku saya, sekaligus sesuatu yang memberikan pengalaman
kepada saya betapa nggak mudahnya mencari uang “, jawabnya tegas. ( hasil Wawancara
dengan Fedri ketika saya temui berada di perpustakaan pusat di UNS )
D.
Kontruksi
makna Simbolik Uang Receh
Sudah menjadi sifat manusia untuk kurang
menghargai terhadap sesuatu yang kurang bernilai seperti halnya uang receh.
Uang receh dengan nilai yang sangat kecil cenderung tidak begitu digunakan dalm transaksi
pembayaran sehari-hari. Esensi uang receh sebagai alat tukar agaknya mulai
dikesampingkan oleh mahasiswa. Rasa malu membuat uang receh kini menjadi jarang
digunakan oleh mahasiswa dalam melakukan kegiatan ekonominya dan memilih untuk
menghimpunnya . Justru di lain sisi makna
simbolik dari uang receh yang kini dikonsumsi oleh mahasiswa ini. Nilai
simbolik uang receh dirasa lebih mempunyai manfaat penting dalam memberikan
dampak pada kehidupan sosialnya. Dalam realitas sehari-hari saja paling mudah
kita temui tentang seseorag yang membeir pengemis dengan uang receh, itu sudah
merupakan symbol kepedulian dari seseorang yang memberi itu. Makna uang receh
itu tercipta ketika seseorang mempunyai persepsi sendiri-sendiri dalam memaknai
itu. Misalkan makna uang receh dalam kasus Prita tentu akan berbeda dengan makna
uang receh ketika kita membeli barang di toko. Fungsi dasar uang receh memang
sebagai alat pembayaran, tapi dibalik itu semua masyarakat tidak sadar bahwa mereka
sebenarnya memaknai uang receh dari segi simboliknya dari pada nilai tukarnya. Dari pemaknaan –pemaknaan diatas dapat
dilakukan suatu kontruksi mengenai makna
uang receh yang kini lebih dipandang sebagai suatu yang melambangkan symbol
sosial antara lain seperti berikut :
1. Uang
receh sebagai simbol perlawanan
2. Uang
receh sebagai simbol kepedulian
3. Uang
receh sebagai symbol Kebersamaan
4. Uang
receh sebagai symbol masyarakat kecil
5. Uang
receh sebagai media kritik
DAFTAR
PUSTAKA
Christopher
Norris.2009.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.Jakarta:Ar-Euss Media
Geoge
Ritzer-Douglas J.Goodman. 2008.Teori Sosiologi Modern( Edisi 6
).Jakarta:Kencana
Dekonstrusi Makna Uang Receh ( Kajian Etnografi )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:46:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead
(1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya
adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological
Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis
dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang
aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind),
namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun
sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut
bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai
dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap,
realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana
dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari
interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu
saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung
antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan
tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain.
Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara
stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang
aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.
Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke
arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang
berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap
bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok
dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.[4]
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi
sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari
kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan
yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi
intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I
Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian
Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di
sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita
akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis
ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang
dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ
Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme
simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep
Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak
di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian
gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan
melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama
sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk
manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di
tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses
pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint
Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan
masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut
Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang
salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah
semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti”
dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’
adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu
psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah
berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan
teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran
kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme
simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang
telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari
individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi
yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori
Interaksionisme Simbolik.
Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah
tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri
atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan
sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan
sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat
demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley
berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial
abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada
aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari
perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley
berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai
individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,
namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan
penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia
secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki
pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang
individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka
proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”
Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu
maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang
saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan.
”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling
bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya
membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda
pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya
pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk
memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung
melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang
saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang
bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang
Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang
utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum.
Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari
masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga
merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil
dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol,
kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi
mental dari individu-individu dan dipelihara melalui
kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan
secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita
(familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika
institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi
mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial,
namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya
terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu
“Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama,
Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai
diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana
yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001.
Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta:
Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
TES
7:40:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Interaksionisme Simbolik ( Mead )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:40:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)