Home
»
Posts filed under
Tokoh
Alkisah Socrates masuk Islam. Kemudian selagi ngabuburit di Indonesia
bersama gebetannya, datanglah waktu sholat maghrib. Maka Socrates
menyempatkan mampir di sebuah masjid. Sedangkan si pacar menunggu di
warung terdekat.
Lalu ia ikut sholat berjamaah. Karena baru
muallaf ia berusaha keras agar bisa terlihat tenang seperti orang Islam
lainnya. Dari awal hingga akhir, ia praktikkan semua ajaran yang ia
pelajari dari guru-guru atau buku-buku mengenai keIslaman. Karena basicnya
Socrates seorang filosuf, maka tidak terlalu sulit baginya untuk terus
menambah khazanah keilmuan agama barunya tersebut. Apalagi soal rukun
Islam yang di dalamnya terdapat perintah sholat lima waktu. Seluruh
referensi tentang salah satu kewajiban umat Islam itu terus tergali dan
tersimpan dalam benaknya lekat-lekat. Tinggal bagaimana ilmu-ilmu itu
dapat disinkronisasi dengan kondisi batin ketika sedang sholat, agar ia
dapat mengalami apa yang dinamakan khusyu’, demikian menurut
pendapatnya.
Ketika akhir salam dan sholat selesai, segera si
filosuf ini membaca zikir yang sesuai dengan apa yang ia pelajari dari
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tetapi tiba-tiba seseorang
mencolek bahunya terus menerus. Karena Socrates merasa terganggu, ia
torehkan pandangannya kepada si pencolek.
“Ada apa, Pak?” Tanya Socrates.
“Kalau habis sholat, salaman dulu sama yang di sebelah, depan dan belakang.” Jawab orang tersebut setengah berbisik.
“Bukannya kalau di teorinya habis sholat itu zikir ya, pak?” Ujar Socrates setengah berbisik.
“Yeee… Salaman dulu atuh.”
“Salaman bagian dari sholat ya pak?”
“Nggak afdhol nanti kalau nggak salaman.”
“Hah,
apa bener, pak?” Setengah kaget cengok dan merasa ritual meraih
kekhusyu’an yang susah payah dilakukannya pas sholat tadi gagal total.
“Iya bener, lihat tuh Kyainya saja di depan salaman, masak anda tidak. Anda belajar agama dari Kyai bukan?”
“Iya sih pak.”
“Nah, dimana-mana Kyai tuh habis sholat salaman, makanya kita juga harus begitu.”
“Ooo..” Socrates tertegun dengan ceramah dari seseorang disebelahnya yang ternyata merangkap Ustaz di masjid tersebut.
“Lagipula nanti kalau anda nggak salaman setelah sholat, bisa nggak mendapatkan berkah orang-orang yang sholat.”
“Oh, berkah ya pak, tapi kok gak ada tumpukan karton nasi-nasi.”
“Itu berkat, bukan berkah atuh. Beda lagi.”
“Iya,
iya, maaf pak, saya cuma baru tahu aja nih ilmu baru dari bapak,
biasanya di buku dan kitab-kitab tentang rukun dan tuntunan sholat Nabi,
nggak ada ritual salaman sehabis sholat, tapi baru tahu aja nih.”
“Nah, kan karena anda baru tahu maka amalkan. Mengamalkan amal baik itu kan berpahala, betul nggak?”
“Hmm… Hmmm…” Gumam Socrates seraya mengangguk-angguk meski masih ada beberapa pertanyaan bingung di kepalanya.
“Tapi pak, kalau pas saya sholat di sana, nggak ada salaman habis sholat kaya di sini?” Tanya Socrates.
“Di
sana berbeda, masjidnya saja beda, lagipula di sana pengamalan amal
sholihnya kurang, jadi nggak mau susah-susah, mau yang gampang dan
ringkas saja.”
“Jadi di sana nggak mau ngamalin amal sholih yang kecil-kecil seperti salaman habis sholat, ya pak.”
"Jangan
bilang-bilang ya, kalau kamu shalat di masjid dekat kampus yang itu
tuh, nanti kamu bisa dibilang sesat kalau sehabis shalat pakai salaman
segala."
"Ada juga ya pak yang kaya begitu?"
“Iya. Itu bedanya di sini dan di sana.”
“Memangnya di sana masjid apa, pak?”
“Ada
banyak, kalau di dekat poskamling, Masjid Muhammadiyah. Kalau di dekat
pasar, Masjid PKS. Kalau di samping lapangan Masjid Persis, kalau yang
suka sesat-sesat tadi masjid wahhabi namanya, terus sama yang di sini
nih, Masjid NU.”
“Ooo… Begitu. Oya Pak, ngomong-ngomong terima kasih, Pak. Saya mau pergi dulu.”
“Lho,
kok buru-buru? Obrolan kita belum selesai lho! Memangnya saudara mau
kemana sebenarnya?” Tanya Bapak itu mencegah lawan diskusinya untuk
beranjak pergi.
“Maaf Pak, Sepertinya saya salah masuk, padahal
tadi saya lagi cari masjid orang Islam, permisi. Punten, Pak.” Ujar
Socrates dengan nada sopan sambil ngeloyor pergi setelah permisi.
TES
4:54:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Kisah Socrates Jadi Muallaf
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
4:54:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980 an.
Fungsionalisme Struktural Talcot Person
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim.
Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah :
Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
Latency (pemeliharaan pola)
Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut :
Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut :
- Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung.
- Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
- Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
- Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
- Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
- Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistim.
- Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam.
Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.
Sistim Sosial
Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson mendifinisikan sistim sosial sebagai :
”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”.
Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim. Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang lebih luas.
Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada komponen-komponen strukturalnya seperti status- peran, kolektifitas, norma, dan nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari suatu sistim sosial menurut Parson adalah :
Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain.
Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan dukungan dari sistim yang lain.
Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.
Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.
Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera dikendalikan.
Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa.
Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan sistim sebagai satu kesatuan.
Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial, dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut. Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anak-anak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanak-kanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap berlaku seumur hidup.
Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini :
Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat.
Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak dapat menerima penyimpangan.
Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim.
Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama yang memungkinkan sistim sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim.
Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat sebagai :
· kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri,
· yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan kolektif dan individualnya,
· dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri.
Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu :
· Sistim Ekonomi
Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal.
· Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.
· Sistim Fiduciari
Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut.
· Komunitas Kemasyarakatan
Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat.
Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural.
Sistim Kultural
Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain.
Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak menjadi bagian dari kedua sistim itu.
Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan sistim tindakan yang lain.
Sistim Kepribadian
Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya.
Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan. Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting. Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai.
Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di antaranya adalah :
Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan sosial mereka.
Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural.
Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat.
Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu. Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir Parson.
Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson.
Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak aspek.
Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi sistim kepribadian dengan sistim sosial.
Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif.
Organisme Perilaku
Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson, didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner” yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi.
Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap.
Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif. Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi.
Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka sendiri.
Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau bahkan memperburuk proses evolusi.
Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagiann besar analisis struktural Parson.
Teori Struktural Fungsional Talcot Parson
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:51:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead
(1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya
adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological
Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis
dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang
aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind),
namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun
sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut
bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai
dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap,
realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana
dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari
interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu
saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung
antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan
tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain.
Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara
stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang
aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.
Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke
arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang
berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap
bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok
dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.[4]
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi
sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari
kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan
yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi
intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I
Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian
Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di
sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita
akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis
ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang
dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ
Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme
simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep
Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak
di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian
gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan
melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama
sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk
manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di
tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses
pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint
Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan
masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut
Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang
salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah
semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti”
dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’
adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu
psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah
berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan
teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran
kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme
simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang
telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari
individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi
yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori
Interaksionisme Simbolik.
Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah
tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri
atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan
sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan
sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat
demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley
berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial
abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada
aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari
perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley
berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai
individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,
namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan
penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia
secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki
pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang
individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka
proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”
Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu
maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang
saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan.
”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling
bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya
membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda
pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya
pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk
memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung
melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang
saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang
bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang
Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang
utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum.
Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari
masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga
merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil
dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol,
kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi
mental dari individu-individu dan dipelihara melalui
kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan
secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita
(familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika
institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi
mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial,
namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya
terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu
“Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama,
Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai
diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana
yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001.
Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta:
Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
TES
7:40:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Interaksionisme Simbolik ( Mead )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:40:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Asumsi Dasar
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Sejarah Awal
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
- Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
- Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Teori konflik
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:37:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Teori struktural fungsional mengedepankan suatu perspektif yang
menekankan harmonisasi dan regulasi yang dikembangkan berdasarkan
sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikembangkan lebih jauh
sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya;
2. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasikan;
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, namun sistem sosial akan senantiasa berproses kea rah itu;
4. Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner;
5. Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu;
6. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatik.
Menurut penganut teori struktural fungsional, kontrol terhadap efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat perlu dipahami, dikembangkan, dan ditindaklanjuti untuk menciptakan keteraturan tatanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan dorongan terhadap perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan pada upaya menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empiris. Teori ini bercorak pragmatis dalam orientasinya, sehingga pendekatan yang dipilih lebih mengarah pada upaya pemecahan masalah yang dalam mengoperasikan nya, para eksponen teori struktural fungsional lebih mengedepankan komitmen mereka yang kuat terhadap prinsip-prinsip rekayasa sosial, dan rekayasa tersebut dimulai dari sekelompok elit. Hasil rekayasa elit itu kemudian disebarkan kepada masyarakat luas melalui proses difusi secara bertahap. Focus dari teori ini adalah dalam upaya menjelaskan status quo, tertib sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas, dan aktualitas. Tokoh-tokohnya adalah Auguste Comte, Herbert Spencer, Charles Darwin, Robert K. Merton, Talcott Parsons, Durkheim dan lain-lain.
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya;
2. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasikan;
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, namun sistem sosial akan senantiasa berproses kea rah itu;
4. Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner;
5. Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu;
6. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatik.
Menurut penganut teori struktural fungsional, kontrol terhadap efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat perlu dipahami, dikembangkan, dan ditindaklanjuti untuk menciptakan keteraturan tatanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan dorongan terhadap perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan pada upaya menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empiris. Teori ini bercorak pragmatis dalam orientasinya, sehingga pendekatan yang dipilih lebih mengarah pada upaya pemecahan masalah yang dalam mengoperasikan nya, para eksponen teori struktural fungsional lebih mengedepankan komitmen mereka yang kuat terhadap prinsip-prinsip rekayasa sosial, dan rekayasa tersebut dimulai dari sekelompok elit. Hasil rekayasa elit itu kemudian disebarkan kepada masyarakat luas melalui proses difusi secara bertahap. Focus dari teori ini adalah dalam upaya menjelaskan status quo, tertib sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas, dan aktualitas. Tokoh-tokohnya adalah Auguste Comte, Herbert Spencer, Charles Darwin, Robert K. Merton, Talcott Parsons, Durkheim dan lain-lain.
Pokok Teori struktural fungsional
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:20:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Leonardo da Vinci lahir pada tahun 1452 di Kota Vinci, dekat Empoli,
Italia sebagai anak tidak sah dari Ser Piero da Vinci dan Caterina.
Piero adalah seorang notaris dan tuan tanah terkemuka di Kota Florence.
Sedangkan, Caterina hanyalah seorang gadis petani biasa. Tapi,
meskipun demikian sejak kecil Leonardo tetap diperlakukan seperti anak
Piero yang sah. Ia tinggal di rumah Piero dan dididik sesuai dengan
minat dan bakatnya. Ia belajar membaca, menulis, dan berhitung. Lalu,
pada usia 15 tahun ia diajari melukis dan memahat oleh seorang pelukis
terkenal di Kota Florence bernama Verrochio. Setelah itu, ia menjadi
guru dan membuat studio sendiri. Saat berusia 30 tahun ia bekerja pada
seorang kepala daerah Milan bernama Sforza selama 17 tahun sebagai
pelukis, insinyur, dan penasihat militer. Lalu, ia bekerja pada Raja
Prancis Louis XII pada usia 54 tahun dan melukis Mona Lisa. Lukisan
Monalisa tersebut begitu terkenal hingga saat ini karena mengandung
misteri. Siapa wanita dalam lukisan itu hingga kini masih menjadi
misteri. Leonardo meninggal pada tahun 1519. Lukisan hasil karyanya
yang juga terkenal adalah Makan Malam Terakhir. Selain lukisan
tersebut, Leonardo juga telah menghasilkan banyak desain dari hasil
pemikirannya. Desain tersebut bermacam-macam, antara lain: rancangan
sepatu air, pelampung, kincir air, gambar-gambar rantai, mesin pintal,
mesin giling gandum, mesin cetak, kapal selam, senapan mesin, bom,
parasut, tank, mobil, helikopter, dan pesawat terbang. Padahal, pada
saat itu teknologi belum begitu berkembang. Hasil pemikiran Leonardo
memang terlalu jauh mendahului zamannya dan mengapa terjadi hal ini
hingga sekarang tetap menjadi misteri. Ia adalah manusia serba bisa.
Ia menguasai bidang anatomi, botani, zoologi, kartografi, aeronautika,
mekanika, geologi, astronomi, optika, matematika, suara, senjata,
hidrolika, tata kota, dan jembatan. Ia juga seorang tokoh Renaissance,
penyair, musikus, arsitek, pemahat, pengarang, insinyur, filsuf, dan
ilmuwan. Catatan yang dihasilkannya sangat ilmiah dan berjumlah 7000
halaman. Selain itu, ia juga merupakan orang pertama di dunia yang
mampu dengan tepat menggambarkan struktur tubuh manusia, posisi bayi
dalam kandungan, dan jantung manusia. Untuk mampu melakukan semua itu
ia melakukan pembedahan terhadap 30 buah mayat manusia.
TES
8:25:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Leonardo da Vinci, Manusia Penuh Misteri
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
8:25:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan
pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan.
Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah
dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
... "Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara. Makanya
aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola
kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas
dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku.
Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat
senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu
punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan
pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik
datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya.
Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu
pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta
dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah
kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar
dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi
lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di
depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia
permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan
menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu
identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan
membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak
kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat
Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat
senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan
Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat
lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatan Kranos,
wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan
semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya.
TES
8:18:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
DISKUSI ALA SOCRATES
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
8:18:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Jenderal Sun Tzu atau dikenal dengan juga dengan Sun Wu adalah seorang Jenderal militer jaman China kuno , Dia juga seorang ahli strategi dan filsataf yang secara tradisional diyakini telah menulis buku The Art of War, sebuah buku kuno Cina yang berisi strategi militer. Selama abad 19-20, The Art of War Sun Tzu semakin populer dan dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat barat, dan hasil karyanya mempengaruhi budaya dan politik baik Asia maupun Barat.
Buku "The Art of War" ini menyajikan suatu filsafat perang untuk mengelola konflik dan memenangkan pertempuran. Tidak hanya berisi tulisan-tulisan dari penulis asli, tapi juga komentar dan klarifikasi dari filsuf kemudian militer, seperti Li Quan dan Du Mu. The Art of War diterima sebagai sebuah mahakarya dalam strategi dan sering dikutip dan disebut oleh jenderal dan pencetus teori sejak penerbitannya, terjemahan dan distribusinya di seluruh dunia.
Buku ini tidak hanya populer di kalangan ahli teori militer, tetapi juga telah menjadi semakin populer di kalangan para pemimpin politik dan orang-orang dalam manajemen bisnis. Meskipun judulnya The Art of War, namun buku ini menyampaikan strategi secara luas, menyentuh pada administrasi publik dan perencanaan. Teks menguraikan teori pertempuran tetapi juga pendukung diplomasi dan hubungan budidaya dengan bangsa lain sama pentingnya bagi kesehatan suatu negara.
Berikut adalah 36 strategi perang Jenderal Sun Tsu
Strategi 1
Perdaya Langit untuk melewati Samudera.
Bergerak di kegelapan dan bayang-bayang, menggunakan tempat-tempat tersembunyi, atau bersembunyi di belakang layar hanya akan menarik kecurigaan. Untuk memperlemah pertahanan musuh anda harus bertindak di tempat terbuka menyembunyikan maksud tersembunyi anda dengan aktivitas biasa sehari-hari. Strategi 2
Kepung Wei untuk menyelamatkan Zhao.
Ketika musuh terlalu kuat untuk diserang, seranglah sesuatu yang berharga yang dimilikinya. Ketahui bahwa musuh tidak selalu kuat di semua hal. Entah dimana, pasti ada celah di antara senjatanya, kelemahan pasti dapat diserang. Dengan kata lain, anda dapat menyerang sesuatu yang berhubungan atau dianggap berharga oleh musuh untuk melemahkannya secara psikologis.
Strategi 3
Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. (Bunuh dengan pisau pinjaman.)
Serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain (karena kekuatan yang minim atau tidak ingin menggunakan kekuatan sendiri). Perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok aparat musuh untuk menjadi pengkhianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri.
Strategi 4
Buat musuh kelelahan sambil menghemat tenaga.
Adalah sebuah keuntungan, merencanakan waktu dan tempat pertempuran. Dengan cara ini, anda akan tahu kapan dan di mana pertempuran akan berlangsung, sementara musuh anda tidak. Dorong musuh anda untuk menggunakan tenaga secara sia-sia sambil anda mengumpulkan/menghemat tenaga. Saat ia lelah dan bingung, anda dapat menyerangnya.
Strategi 5
Gunakan kesempatan saat terjadi kebakaran untuk merampok lainnya. (Merampok sebuah rumah yang terbakar.)
Saat sebuah negara mengalami konflik internal, ketika terjangkit penyakit dan kelaparan, ketika korupsi dan kejahatan merajalela, maka ia tidak akan bisa menghadapi ancaman dari luar. Inilah waktunya untuk menyerang.
Strategi 6
Berpura-pura menyerang dari timur dan menyeranglah dari barat.
Pada tiap pertempuran, elemen dari sebuah kejutan dapat menghasilkan keuntungan ganda. Bahkan ketika berhadapan langsung dengan musuh, kejutan masih dapat digunakan dengan melakukan penyerangan saat mereka lengah. Untuk melakukannya, anda harus membuat perkiraan akan apa yang ada dalam benak musuh melalui sebuah tipu daya.
Strategi 7
Buatlah sesuatu untuk hal kosong.
Anda menggunakan tipu daya yang sama dua kali. Setelah breaksi terhadap tipuan pertama dan –biasanya- kedua, musuh akan ragu-ragu untuk bereaksi pada tipuan yang ketiga. OLeh karenanya, tipuan ketiga adalah serangan sebenarnya untuk menangkap musuh saat pertahanannya lemah.
Strategi 8
Secara rahasia pergunakan lintasan Chen Chang. (Perbaiki jalan utama untuk mengambil jalan lain.)
Serang musuh dengan dua kekuatan konvergen. Yang pertama adalah serangan langsung, sesuatu yang sangat jelas dan membuat musuh mempersiapkan pertahanannya. Yang kedua secara tidak langsung, sebuah serangan yang menakutkan, musuh tidak mengira dan membagi kekuatannya sehingga pada saat-saat terakhir mengalami kebingungan dan kemalangan.
Strategi 9
Pantau api yang terbakar sepanjang sungai.
Tunda untuk memasuki wilayah pertempuran sampai seluruh pihak yang bertikai mengalami kelelahan akibat pertempuran yang terjadi antar mereka. Kemudian serang dengan kekuatan penuh dan habiskan.
Strategi 10
TES 9:22:00 PM NJW Magz Bandung Indonesia
Strategi Perang Sun Tzu ( The Art of War )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:22:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)