Home
»
Posts filed under
eksistensi
Kota Surakarta yang lebih di kenal
masyarakat dengan kota Solo merupakan sebuah kota yang kini mengalami
perkembangan yang relativ cepat dari tahun-ketahun , brand nya sebagai kota
wisata budaya Jawa "The Spirit Of Java" sudah melekat dan
begitu dikenal oleh masyarakat luas. Banyak wisatawan manca maupun lokal
berbondong-bondong menuju Solo untuk menyaksikan beberapa festival dan
pagelaran budaya lokal maupun nasional yang diagendakan tiap tahun maupun tiap
bulannya. Inilah daya tarik kota solo sebagai rohnya budaya
Jawa. Namun daripada itu, dampak-dampak yang kurang dikehendaki
kini mulai bermunculan sebagai konsekuesi dari kemajuan kota, lihat
saja jalan-jalan besar di kota ini sekarang mulai mengalami kemacetan
terutama pada jam-jam kerja. Menurut data Jumlah kendaraan di Kota Solo
terus membengkak 7,5% tiap tahun. Bahkan diprediksikan pada lima tahun ke
depan, kota Solo bakal menjadi kota macet parah lantaran jumlah kendaraan saat
ini telah menembus sekitar 297.000 unit. Itupun belum termasuk kendaraan
dari luar Solo yang masuk. Data yang dilansir Dishub Solo melalui Kantor
Bersama Samsat Solo, mencatat jumlah kendaraan di Kota Solo dalam enam tahunbelakangan ini mengalami pertumbuhan hingga mencapai 86.736 unit
kendaraan.(Solopos,21 September 2011). Angka yang cukup besar untuk sebuah kota
dengan luas 44 km2 dengan penduduk 503.421 jiwa (2010. dan kepadatan
penduduk 13.636/km2. (www.surakarta.go.id 2012).
Namun kondisi ini kemudian
memunculkan fenomena2 unik dan kreatif dari masyarakat. Jika kebetulan melintas
di jalan-jalan utama kota Solo kalian pasti bertemu dengan sosok-sosok
orang berseragam mirip petugas polisi. Mereka berdiri di titik-titik
atau perempatan yang rawan kemacetan. Biasanya di tempat-tempat yang belum ada
Traffic Lightnya. Dengan sigap dan tangkas, mereka mengatur arus lalu-lintas
hingga kemacetan tidak berlangsung lama. Merekalah yang dikenal dengan nama
Supeltas, singkatan dari “Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas”. Berasal dari
orang-orang sipil murni. Sebelumnya di kota-kota lain memang sudah ada istilah
Polisi Cepekan, yaitu orang-orang sipil yang memanfaatkan kemacetan untuk
mendapatkan rupiah dengan cara mengatur lalu-lintas.Polisi cepekan itu sering
dituding malah menjadi biang kemacetan lalu-lintas sendiri demi mendapatkan
uang dari pengendara yang melintas. Itulah sebab mengapa mereka dulu dikenal
dengan nama Polisi Cepekan. Karena dalam setiap aksinya mereka menerima atau
bahkan meminta uang receh dari pengendara yang lewat yang merasa telah mereka
bantu.(Koranjuri.com, 3 Januari 2011)
(Gaya unik supeltas kota solo memakai topeng Pak Jokowi dan Pak ahok untuk menghibur pengguna jalan)
Begitu pula awal mula Supeltas di Solo. Mulanya mereka dianggap polisi cepekan.
Namun lambat-laun pendapat masyarakat berubah. Mereka tak sekedar mengatur
lalu-lintas dengan penuh dedikasi tinggi. Mereka tak meminta uang receh atau
bayaran dari pengendara yang lewat. Panas hujanpun mereka rela bertugas. Di
sisi lain, petugas polisi resmi yang seharusnya menjadi pengatur lalu-lintas
merasa terbantu.
Seiring perkembangan, Supeltas
tersebut malah menjadi ikon lalu-lintas kota Solo. Tak lagi dicurigai seperti
masa awal. Masyarakat atau pengendara yang lewat dengan senang hati memberikan
beberapa lembaran rupiah atau receh jika melewati keberadaan mereka. Uang
tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau sekedar rasa simpati atas
perjuangan dan kerelaan mereka. (Koranjuri.com,03 Januari 2011)
(Foto
supeltas yang sedang mengatur lalulintas dengan senyum dan sapa kepada pengguna
jalan)
Dengan Jumlah personil yang kian
bertambah ditiap tahunnya, sedikitnya ada 36 anggota supeltas yang tercatat di
Satlantas Polresta Solo. (Solopos, 21 Januari 2012).Supelatas kini menjadi
fenomena di kota Solo yang sangat menarik untuk dikaji.Keberadaanya mulai
diakui oleh masyarakat. Cara kerja mereka dalam mengatur lalu lintas yang
terbilang unik, nyentrik, ramah dan murah senyum memberi kesan tersendiri bagi pengguna
jalan yang merasakan penat kemacetansaat berkendara. Sudah puluhan orang yang
menekuninya. Mereka Tinggal mencari lokasi strategis yang bisa mereka jadi
lahan untuk pengabdian itu. Entah atas dorongan apa mereka bersedia
melakonikegiatan iniIronis memang, ketika mereka pamit dari rumah untuk
bertugas, namun tak ada kepastian bahwa apa yang mereka perbuat akan membuahkan
senyum. Dari namanya sudah melambangkan jika mereka sedang mengikhlaskan
diri.Tak bergaji. Itulah satu potret keadaan yang ada di negeri ini. sebuah
ironi atau justru sebuah hal yang patut dibanggakan. Bahwa negeri ini masih
memiliki jiwa-jiwa penuh pengabdian yang tanpa pemrih. Atau sebuah klise bahwa
dengan perjuangan yang tak kenal pamrih tersebut maka nasib baik pasti akan
menghampiri. Buah simpati dan keperdulian akan terlahir dijalanan.
(
Kegiatan sosial peduli lingkungan yang dlakukan oleh para supeltas di kota
Solo)
Dengan melihat perilaku2 unik
sekaligus dedikasi mereka, saya sebenarnya sangat berminat untuk
menjadikannya sebagai kajian skripsi saya. Berulangkali saya observasi dan
dokumentasikan apa yang saya temui dilapangan untuk meyakinkan dosen pembimbing
saya. Namun smuanya ditolak mentah mentah. dengan alasan "penelitian
mengenai supeltas itu belum pernah ada"jangan mempersulit diri lah!!
(begitulah kata dosen pembimbing saya). ya sudah kalau begitu memang mahasiswa
selalu kalah kalau lawannya dosen. Begitulah cerita tentang ide judul skripsi
saya mengenai eksistensi dan etos kerja supeltas di kota solo yang gagal saya
kaji, semoga kelak ada dari teman2 yang berminat untuk memakai ide tersebut :)
:D
TES
12:17:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Eksistensi #Supeltas di Kota Solo :)
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
12:17:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)