Tradisi Mudik dan Maknanya dalam perspektif Sosiologi


Tradisi ‘Mudik alias Pulang Kampung’ tentunya sudah  familiar di telinga kita. Mudik merupakan agenda akhir tahunan pada setiap menjelang hari lebaran. Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Mereka senantiasa sangat antusias untuk melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. tak peduli harus membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran, harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan fenomena seperti ini. Hal itu bisa dilihat (potret) melalui media massa elektronik TV, antrian begitu padat yang ada di terminal, stasiun, pelabuhan, maupun yang ada di bandara.
Secara terminus dan berbagai sumber yang ada bahwa istilah mudik berasal dari kata “udik “yang berarti kampung atau desa. Jika diartikan secara umum bahwa mudik berarti balik atau pulang ke daerah asal. Sedangkan mudik menurut Kamus Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976) adalah pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran. Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di kota besar metropolitan.

Faktor Pendorong
Tak di pungkiri bahwa era sekarang di sebut sebagai era IPTEK (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM  (blackberry), internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan untuk di jangkau oleh seseorang. Tetapi masyarakat merasa bahwa komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental (alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.
Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi :1. Mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga.2. Terapi psikologis 3. lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari 3. Mengingat asal usul 4. Unjuk diri, bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Makna Sosio-Kultural
Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi.
Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang  bercirikan sebagai nuclear family (keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman, bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani. Di samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orang tua tercinta maupun sanak keluarga yang ada.
Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain, bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi dengan lingkungan sosial.
Tentunya, hal tersebut terjadi karena rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai “robopaths”. Robopaths telah kehilangan kreatifitas dan inovatif. Bagi penulis, tanpa maksud untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.
Untuk itu dalam kesempatan tertentu seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada di kampung halaman.
Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu, akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.
Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917) disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa saling melupakan silaturahmi antar sesama.
Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact), dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan, hal senada di katakan Maryati dan Suryawati (2003).
Momen seperti ini jarang kemudian terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat. Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Selamat Mudik

sumbere referensi : Kompasiana 

» Thanks for reading: Tradisi Mudik dan Maknanya dalam perspektif Sosiologi

Related Posts

Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi) Updated at: 11:08:00 PM