Home
»
Posts filed under
Sejarah Teori Kritis
Apa merek baju yang
Anda pakai? Levi's, Ralph Laurent, Cerruti, Calvin Klein, atau bikinan lokal
tapi bermerek asing seperti LEA atau Van Hausen. Baju memang tidak sekadar
penutup tubuh. Mungkin zaman dulu, iya. Kala itu, baju hanya berfungsi sebagai
penutup tubuh, itu juga kalau dibutuhkan. Tidak selalu. Dan sampai kini pun,
masih ada daerah di pedalaman di Jambi, Kalimantan, dan Papua, yang tidak
memakai baju. Kecenderungan yang umum sekarang, terutama di kota besar layaknya
ibukota seperti Jakarta maupun Solo , fungsi baju jauh dari sekadar penutup
tubuh, tetapi sudah menjadi simbol, sebuah simbol status sosial. Orang-orang
kaya biasanya memilih baju-baju bermerek untuk menunjukkan status kemampuannya.
Orang-orang yang perekonomiannya sedang, bahkan yang mepet, kadang ingin juga
tampil keren dengan baju merek terkenal. Tak heran kalau kemudian pemalsuan
menjamur. Maklum, mereka yang sedang-sedang saja itu hanya sanggup beli yang
palsu. Kalaupun yang asli, lari ke sisa ekspor.
Fenomena itu yang
sekarang terjadi dalam lingkungan mahasiswa kita. Mahasiswa dan Mahasiswi ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang
bermerek ( Pakaian ) mereka baik merek lokal maupun
merek Internasional juga. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda mereka
mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek ini. Ada yang memang
dari kalangan ekonomi atas ,menengah dan juga bawah semuanya terlibat dalam
konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, dan ada pula yang karena gengsi.
Satu peristiwa yang unik disini ketika Ada sosok mahasiswa dimana ia memaksa dirinya
untuk rela “ngirit” atau berhemat
dengan mengurangi pengeluaran makan demi mendapatkan barang –barang bermerek (
baju, celana. Jaket dan sepatu ) yang mereka inginkan. Hal ini menjadi menarik
untuk dikaji karena nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak
terlalu diperhatikan lagi dan yang
paling utama dicari mahasiswa ini adalah nilai simbolik dan prestisnya. Persoalan
ini menjadi begitu pelik melihat keadaan mayoritas masyarakat Indonesia
masih dalam jurang kemiskinan
yang sebenarnya sedang membutuhkan
suatu masyarakat dalam pola hidup yang
sederhana.
A. Analisis Menggunakan Teori Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya (Theodor Adorno)
Saat ini partisipasi
masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas
dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Adorno dengan “masyarakat komoditas”
(commodity society). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai
“masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama,
masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama
bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan.
Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah
konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan
operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari
barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi,
terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit
dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus
menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara,
melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan
kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka
sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita
kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama,
hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang
ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of
antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi”
(economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).
Seperti Halnya
Fenomena merek dikalangan mahasiswa ini,Pemilihan objek-objek konsumsi yang berupa
komoditi misalnya Pakaian
tidak lagi sekedar dilihat dari manfaat (nilai guna) dan harga
(nilai-tukar). Lebih dari itu, apa yang dikonsumsi kini melambangkan status,
prestise, dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan
nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan
dan kehormatan, menjadi komoditas yang banyak dicari untuk meneguhkan identitas
seseorang yang sebenarnya adalah sesuatu yang tidak mereka butuhkan ( kebutuhan
palsu ) . Inilah bentuk hasil Industri budaya ( yang dikatakan adorno
) yang membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran
mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu ini . Mahasiswa ini bukan lagi memuja suatu produk industri
budaya ( Pakaian ) yang secara nyata ada , tetapi pemujaan tersebut lebih
cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut.
Sedangkan Fetisisme
komoditasnya yaitu upaya yang dilakukan
industri sedemikian rupa hingga menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu
produk industri budaya kepada masyarakat. Misalnya Citra di iklan di televisi maupun media promosi dalam hal preferensi
kehidupan sosial masyarakat komoditi. Iklan berbasis visual dalam produksi
budaya menciptakan strategi-strategi promosi yang terkadang bersifat
hiperealitas dalam menentukan jenis,
nilai guna dan nilai tambah suatu produk yang bertujuan menggiring mahasiswa (
konsumn ) ini menuju suatu proses Konsusmsi . Contoh sederhana adalah konsep “ganteng”
tak lagi sebatas dengan ganteng secara fisik namun industry dan media ini
memodifikasi Konsep ganteng ini menjadi ganteng
itu ketika seseorang memakai pemakaian barang-barang yang bermerek mahal dan
terkenal , dan dan memberi penguatan- penguatan negative bila seseorang
tidak mengkonsumsinya. ( missal kalau
tidak memakai produk bermerek Star**** di disebut ketinggalan jaman atau kuno).
Akhrinya yang menentukan ‘Ganteng’ dan ‘tidak’nya adalah iklan televise ( media
) . Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan misinya tersebut hingga
orang ( Mahasiswa ) tidak menyadari apa yang tengah terjadi terhadapnya. Justru
Fakta lain muncul dimana Dengan dapat mengkonsumsi barang bermerek terkenal dan
mahal ini, seakan mereka mempunyai
kekuasaan untuk merendahkan seseorang yang tidak memakai apa yang mereka
konsumsi itu. Dan dampak buruknya lagi sesorang yang sedang dikuasai tersebut
malah menjadi termotivasi untuk berlomba-lomba mendapatkan merek yang lebih
dari yang ditunjukan pada mereka.
Refleksi :
Memang Dibenarkan
Selain simbol kestatusan, barang bermerek juga bisa menjadi simbol kredibilitas. Jika
mau bertemu dengan klien di hotel, misalnya, Anda perlu memakai baju yang
halus, licin, dan bermerek biar dia percaya akan kredibilitas kita. Bahwa
kredibiltas itu semu, tidak masalah dalam dunia yang hedonis seperti sekarang
ini. Menjadi sedikit diwajarkan jika kemudian banyak orang yang menghalalkan
segala cara agar dapat tampil keren. Mereka ingin diakui statusnya sebagai
orang yang tinggi strata sosialnya, mereka juga ingin diakui kredibilitasnya.
Apalagi mereka yang modal otaknya tak pas bandrol, maka penampilanlah yang jadi
senjata.
Kami menyimpulkan sebetulnya tidak menjadi masalah mengkonsumsi
barang bermerek ataupun tidak bermerek , dalam hal ini yang terpenting adalah nilai pakai dari barang tersebut yang disesuaikan dengan tingkat
ekonomi dan kebutuhan kita serta tidak menggunakanya untuk merendahkan orang
lain karena kita lahir dalam latar
belakang ekonomi dan lingkungan yang berbeda-beda.Ada yang Mampu ada yang serba
kekurangan. Tidak ada larangan untuk menikmati hidup yang hanya sekali ini.
Kalau memang senang barang bagus, kita bebas membeli dan memakainya. Senang
dengan segala bentuk kemewahan lainnya, silakan saja dan nikmatilah dengan
keluarga tercinta, tetapi ada bagusnya kalau kita tetap darling (sadar
lingkungan ) bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih berada di bawah kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003.
Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, danImplikasinya).
Yogyakarta: Kreasi Wacana
TES
9:11:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Fenomena Merek Dikalangan Mahasiswa
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:11:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Mazhab Frankfurt atau
Mazhab Teori Kritis yang sudah mulai lazim dikenal di kalangan
akademis, sesungguhnya adalah mazhab pemikiran di Jerman yang muncul
sekitar 1923. Disebut Mazhab Frankfurt, karena pada awalnya mazhab ini
berasal dari Universitas FrankfurtInstitut fur Socialforchung (Institut Penelitian Sosial) yang merupakan jurusan resmi di universitas tersebut.oleh sebuah lembaga yang bernama
Mark Horkheimer adalah filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Ia bahkan sempat menjabat sebagai Direktur Institut fur Socialforchung.
Walaupun Horkheimer bukan pemikir paling cemerlang dari mazhab ini,
tapi lewat Horkheimerlah, Mazhab Frankfurt memiliki justifikasi untuk
menjadi mazhab tersendiri dalam ilmu pengetahuan.
Generasi
pertama Mazhab Frankfurt adalah Mark Horkheimer, Theodor Adorno, Walter
Benjamin dan Herbert Marcuse. Sedangkan generasi kedua dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf paling cemerlang dari mazhab ini.
Kritik Terhadap Positivisme
Masuknya
Mazhab Frankfurt ke dalam aliran pemikiran, memiliki arti terjadinya
suatu pembalikan tradisi pemikiran sebelumnya, yaitu: positivisme.
Pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha memperjelas secara rasional
kehidupan manusia moderen dan melihat akibat-akibatnya dalam kemanusiaan
dan dalam kebudayaan, serta mengkritisi pemikiran-pemikiran abad ke-18
berkaitan dengan penerapan positivisme, masa pencerahan (aukflarung) yang menjadikan manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, tapi diperbudak oleh mesin, sehingga tidak bebas dan merdeka.
Positivisme
sebagai paham keilmuan meyakini puncak ilmu pengetahuan manusia adalah
ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), dan
ciri-cirinya antara lain: pertama, ilmu adalah bebas nilai; kedua,
pengetahuan yang absah hanya pada fenomena semesta. Metafisika yang
mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah; ketiga, semesta direduksi menjadi fakta yang dapat dipersepsi; keempat, paham tentang keteraturan peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan di luar ketentuan tersebut; kelima, semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin.
Mazhab
Frankfurt tidak bersepaham dengan pandangan ini. Mazhab Frankfurt
memandang ilmu pengetahuan moderen yang dilatar-belakangi saintisme atau
positivisme sudah menghasilkan masyarakat yang irrasional, ideologis
dan terasing.
Bencana Modernitas
Kecuali
itu, sebagaimana yang sudah disebut di atas, berkembangnya positivisme
dan proyek pencerahan mengubah fungsi tenaga manusia dengan mesin. Hal
ini agaknya disadari betul oleh Horkheimer dan Adorno – sebagai dua
pemikir Mazhab Frankfurt generasi pertama – di mana dirasakan kemenangan
yang diperoleh merupakan kemenangan yang penuh bencana.
Hal
yang juga mengerikan dari proyek pencerahan dan akibat positivisme
adalah menggunakan alam sebagai instrumen untuk menindas sesama manusia.
Krisis lingkungan juga adalah akibat buruk dari kecenderungan demikian.
Penemuan bom, senjata nuklir dan sebagainya yang harusnya dipakai untuk
mewujudkan perdamaian, justru dipandang sebagai bentuk persenjataan
yang lebih efektif, sehingga apa yang dimaui manusia untuk dipelajari
dari alam adalah bagaimana menguasai alam, mengeksploitasinya dan pada
akhirnya menjajah sesamanya.
Saat
ini manusia moderen yang mengandaikan pencerahan nyatanya sudah
kehilangan kekritisannya dan seolah-olah hanya berpijak pada satu nilai
dimensi kebenaran. Kebenaran itupun adalah kebenaran positivisme yang
absurd, karena mengagungkan aspek fungsional belaka dan tak melihat
substansi yang ada di dalamnya.
Akibatnya,
manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, seni dan filsafat, pemikiran dan
laku sehari-hari, sistim politik, ekonomi dan penerapan teknologi hanya
berjalan di permukaan belaka, sehingga tidak pernah merasakan ada yang
tidak beres dengan kehidupan yang mereka jalani. Mereka seolah-olah
sudah merasa nyaman dengan satu dimensi dari kehidupan moderen mereka,
yang sejatinya tidak dipungkiri adalah bibit-bibit bencana baginya,
lingkungan dan sesamanya itu, juga ancaman bagi gnerasi-generasi mereka
selanjutnya.
TES
1:09:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Teori Kritis dan Sejarah
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
1:09:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)