Home
»
Posts filed under
artikel
Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil. Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Belajar dari Kasus Sengkon dan Karta (Sebuah Ironi Keadilan)
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
12:50:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Cerita Inspiratif Hidup ini berdasarkan
Kisah nyata ini datang dari Negara Jepang. Guru ini mampu merasakan
kalau waktunya hidup didunia tidak lama lagi, sehingga ia memberikan
pekerjaan rumah terakhir bagi para muridnya yang membuat banyak orang
terharu. Sebelum Guru istimewa tersebut menghembuskan nafas terakhirnya,
dirinya masih sempat memberikan PR untuk para siswanya. Jika umumnya
para siswa acuh dan malas mengerjakan PR tetapi untuk PR yang satu ini
tidak membuat para siswanya acuh, melainkan menangis saat melihat PRnya.
Dengan sebauh kapur Guru tersebut mulai menuliskan PR tersebut di papan
tulis, ia menuliskan PR tersebut sebagai tugas terakhir kepada
murid-muridnya.
Berikut tugas yang diberikan sang guru:
"PR terakhir ini tidak ada batas waktu.Jadilah orang yang bahagia.
Saat kalian mengerjakan tugas ini, mungkin aku sudah ada di surga.
Tidak usah buru-buru mengerjakannya.
Kalian bebas menggunakan waktu yang kalian dimiliki.
Tapi suatu hari, tolong kumpulkan dan katakan padaku,
“Aku sudah melakukannya. Aku sudah bahagia”.
Aku akan menunggunya."
PR dari Cerita Inspirasi Hidup
ini Tentu saja menjadi PR terakhir yang paling mengharukan didunia.
Bahkan ada salah satu akun twitter membagikan foto PR terakhir yang
diambil dari papan tersebut. Guru yang menuliskan tugas tersebut baru
saja meninggal. Namun apa yang ia sempat lakukan di saat -saat
terakhirnya sungguh sangat mengesankan. Ia benar-benar melakukan
tugasnya sebagai guru, yaitu memastikan bahwa anak didiknya bukan hanya
belajar atas tuntutan akademis melainkan juga untuk menjadi seorang yang
bahagia.
TES
1:08:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
PR Terakhir yang Mengharukan dari Seorang Guru
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
1:08:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Kota Surakarta yang lebih di kenal
masyarakat dengan kota Solo merupakan sebuah kota yang kini mengalami
perkembangan yang relativ cepat dari tahun-ketahun , brand nya sebagai kota
wisata budaya Jawa "The Spirit Of Java" sudah melekat dan
begitu dikenal oleh masyarakat luas. Banyak wisatawan manca maupun lokal
berbondong-bondong menuju Solo untuk menyaksikan beberapa festival dan
pagelaran budaya lokal maupun nasional yang diagendakan tiap tahun maupun tiap
bulannya. Inilah daya tarik kota solo sebagai rohnya budaya
Jawa. Namun daripada itu, dampak-dampak yang kurang dikehendaki
kini mulai bermunculan sebagai konsekuesi dari kemajuan kota, lihat
saja jalan-jalan besar di kota ini sekarang mulai mengalami kemacetan
terutama pada jam-jam kerja. Menurut data Jumlah kendaraan di Kota Solo
terus membengkak 7,5% tiap tahun. Bahkan diprediksikan pada lima tahun ke
depan, kota Solo bakal menjadi kota macet parah lantaran jumlah kendaraan saat
ini telah menembus sekitar 297.000 unit. Itupun belum termasuk kendaraan
dari luar Solo yang masuk. Data yang dilansir Dishub Solo melalui Kantor
Bersama Samsat Solo, mencatat jumlah kendaraan di Kota Solo dalam enam tahunbelakangan ini mengalami pertumbuhan hingga mencapai 86.736 unit
kendaraan.(Solopos,21 September 2011). Angka yang cukup besar untuk sebuah kota
dengan luas 44 km2 dengan penduduk 503.421 jiwa (2010. dan kepadatan
penduduk 13.636/km2. (www.surakarta.go.id 2012).
Namun kondisi ini kemudian
memunculkan fenomena2 unik dan kreatif dari masyarakat. Jika kebetulan melintas
di jalan-jalan utama kota Solo kalian pasti bertemu dengan sosok-sosok
orang berseragam mirip petugas polisi. Mereka berdiri di titik-titik
atau perempatan yang rawan kemacetan. Biasanya di tempat-tempat yang belum ada
Traffic Lightnya. Dengan sigap dan tangkas, mereka mengatur arus lalu-lintas
hingga kemacetan tidak berlangsung lama. Merekalah yang dikenal dengan nama
Supeltas, singkatan dari “Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas”. Berasal dari
orang-orang sipil murni. Sebelumnya di kota-kota lain memang sudah ada istilah
Polisi Cepekan, yaitu orang-orang sipil yang memanfaatkan kemacetan untuk
mendapatkan rupiah dengan cara mengatur lalu-lintas.Polisi cepekan itu sering
dituding malah menjadi biang kemacetan lalu-lintas sendiri demi mendapatkan
uang dari pengendara yang melintas. Itulah sebab mengapa mereka dulu dikenal
dengan nama Polisi Cepekan. Karena dalam setiap aksinya mereka menerima atau
bahkan meminta uang receh dari pengendara yang lewat yang merasa telah mereka
bantu.(Koranjuri.com, 3 Januari 2011)
(Gaya unik supeltas kota solo memakai topeng Pak Jokowi dan Pak ahok untuk menghibur pengguna jalan)
Begitu pula awal mula Supeltas di Solo. Mulanya mereka dianggap polisi cepekan.
Namun lambat-laun pendapat masyarakat berubah. Mereka tak sekedar mengatur
lalu-lintas dengan penuh dedikasi tinggi. Mereka tak meminta uang receh atau
bayaran dari pengendara yang lewat. Panas hujanpun mereka rela bertugas. Di
sisi lain, petugas polisi resmi yang seharusnya menjadi pengatur lalu-lintas
merasa terbantu.
Seiring perkembangan, Supeltas
tersebut malah menjadi ikon lalu-lintas kota Solo. Tak lagi dicurigai seperti
masa awal. Masyarakat atau pengendara yang lewat dengan senang hati memberikan
beberapa lembaran rupiah atau receh jika melewati keberadaan mereka. Uang
tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau sekedar rasa simpati atas
perjuangan dan kerelaan mereka. (Koranjuri.com,03 Januari 2011)
(Foto
supeltas yang sedang mengatur lalulintas dengan senyum dan sapa kepada pengguna
jalan)
Dengan Jumlah personil yang kian
bertambah ditiap tahunnya, sedikitnya ada 36 anggota supeltas yang tercatat di
Satlantas Polresta Solo. (Solopos, 21 Januari 2012).Supelatas kini menjadi
fenomena di kota Solo yang sangat menarik untuk dikaji.Keberadaanya mulai
diakui oleh masyarakat. Cara kerja mereka dalam mengatur lalu lintas yang
terbilang unik, nyentrik, ramah dan murah senyum memberi kesan tersendiri bagi pengguna
jalan yang merasakan penat kemacetansaat berkendara. Sudah puluhan orang yang
menekuninya. Mereka Tinggal mencari lokasi strategis yang bisa mereka jadi
lahan untuk pengabdian itu. Entah atas dorongan apa mereka bersedia
melakonikegiatan iniIronis memang, ketika mereka pamit dari rumah untuk
bertugas, namun tak ada kepastian bahwa apa yang mereka perbuat akan membuahkan
senyum. Dari namanya sudah melambangkan jika mereka sedang mengikhlaskan
diri.Tak bergaji. Itulah satu potret keadaan yang ada di negeri ini. sebuah
ironi atau justru sebuah hal yang patut dibanggakan. Bahwa negeri ini masih
memiliki jiwa-jiwa penuh pengabdian yang tanpa pemrih. Atau sebuah klise bahwa
dengan perjuangan yang tak kenal pamrih tersebut maka nasib baik pasti akan
menghampiri. Buah simpati dan keperdulian akan terlahir dijalanan.
(
Kegiatan sosial peduli lingkungan yang dlakukan oleh para supeltas di kota
Solo)
Dengan melihat perilaku2 unik
sekaligus dedikasi mereka, saya sebenarnya sangat berminat untuk
menjadikannya sebagai kajian skripsi saya. Berulangkali saya observasi dan
dokumentasikan apa yang saya temui dilapangan untuk meyakinkan dosen pembimbing
saya. Namun smuanya ditolak mentah mentah. dengan alasan "penelitian
mengenai supeltas itu belum pernah ada"jangan mempersulit diri lah!!
(begitulah kata dosen pembimbing saya). ya sudah kalau begitu memang mahasiswa
selalu kalah kalau lawannya dosen. Begitulah cerita tentang ide judul skripsi
saya mengenai eksistensi dan etos kerja supeltas di kota solo yang gagal saya
kaji, semoga kelak ada dari teman2 yang berminat untuk memakai ide tersebut :)
:D
TES
12:17:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Eksistensi #Supeltas di Kota Solo :)
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
12:17:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Apa itu gender?
Apa perbedaan gender dan seks?
GENDER
Bisa berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung musim
Tergantung budaya masing masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat)
SEKS
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
Sumber Referensi :
Dr.Riant Nugroho."Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia". 2008.Pustaka Pelajar:Yogyakarta TES 9:28:00 PM NJW Magz Bandung Indonesia
Pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya. Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan
ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang)
dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat.
WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku,
kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan,
yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat.”
Dari definisi diatas Dapat Disimpulkan bahwa Gender adalah suatu perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Contoh Bagaimana seharusnya seorang laki2 dan perempuan itu misal, laki2 dikenal dengan sosok yang perkasa kuat dan raisonal sedangkan perempuan lebih lekat dengan jiwa yang feminin, cantik, lemah lembut dan emosional . semua ciri2 diatas dapat dipertukarkan contoh ada juga diluarsana laki2 yang lemah lembut dan ada juga perempuan yang kuat dan rasional semuanya tergantung pada tempat dan waktunya masing2.
Konsep gender ini berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan
sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. misal seorang perempuan punya alat reproduksi dan menyusui, sedangkan laki2 adalah manusia yang mempunyai jakun dan ciri2 biologis lainya
Apa perbedaan gender dan seks?
GENDER
Bisa berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung musim
Tergantung budaya masing masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat)
SEKS
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
Sumber Referensi :
Dr.Riant Nugroho."Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia". 2008.Pustaka Pelajar:Yogyakarta TES 9:28:00 PM NJW Magz Bandung Indonesia
Sekilas Tentang Gender
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:28:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Tradisi ‘Mudik alias Pulang Kampung’
tentunya sudah familiar di telinga kita. Mudik merupakan agenda akhir tahunan pada setiap menjelang hari lebaran.
Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan
sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa
kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan
komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Mereka senantiasa sangat antusias untuk
melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. tak peduli harus
membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran,
harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang
tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan
berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan
fenomena seperti ini. Hal itu bisa dilihat (potret) melalui media massa
elektronik TV, antrian begitu padat yang ada di terminal, stasiun,
pelabuhan, maupun yang ada di bandara.
Secara terminus dan berbagai sumber yang ada bahwa istilah mudik berasal dari kata “udik “yang
berarti kampung atau desa. Jika diartikan secara umum bahwa mudik
berarti balik atau pulang ke daerah asal. Sedangkan mudik menurut Kamus
Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976) adalah
pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya
hari lebaran. Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar
orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di
kota besar metropolitan.
Faktor Pendorong
Tak di pungkiri bahwa era sekarang di
sebut sebagai era IPTEK (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan
menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM (blackberry),
internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk
yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika
melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan
untuk di jangkau oleh seseorang. Tetapi masyarakat merasa bahwa
komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental
(alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.
Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito,
ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan
tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum
menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada
pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan
orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi :1.
Mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan
tetangga.2. Terapi psikologis 3. lebaran untuk refreshing dari
rutinitas pekerjaan sehari-hari 3. Mengingat asal usul 4. Unjuk diri,
bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Makna Sosio-Kultural
Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi.
Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang bercirikan sebagai nuclear family
(keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang
namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman,
bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani. Di
samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak
tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat
mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orang tua tercinta
maupun sanak keluarga yang ada.
Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka
jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang
bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya
yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya
pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka
bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain,
bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang
di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi
dengan lingkungan sosial.
Tentunya, hal tersebut terjadi karena
rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti
apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai “robopaths”. Robopaths
telah kehilangan kreatifitas dan inovatif. Bagi penulis, tanpa maksud
untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada
dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.
Untuk itu dalam kesempatan tertentu
seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian
pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan
merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir
suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan
tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada
di kampung halaman.
Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu,
akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan
makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain
(Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow
merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow
kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang
penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala
kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.
Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917)
disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan
melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan
sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa
saling melupakan silaturahmi antar sesama.
Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact),
dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di
sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta
dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di
lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat
ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu
ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap
perasaan yang ingin di sampaikan, hal senada di katakan Maryati dan Suryawati (2003).
Momen seperti ini jarang kemudian
terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi
yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik
dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian
kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat.
Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling
memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang
sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat
sosial kemasyarakatan.
Selamat Mudik
sumbere referensi : Kompasiana
TES
11:08:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Tradisi Mudik dan Maknanya dalam perspektif Sosiologi
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
11:08:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Profesor: "Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada?"
Mahasiswa: "Betul, Dia yg menciptakan semuanya."
"Tuhan menciptakan smuanya??" tanya profesor sekali lagi.
"Ya prof, semuanya," kata mahasiswa itu.
Prof: "Jika Tuhan mnciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan..."
Mahasiswa
itu terdiam & tdk bisa menjawab hipotesis profesor tersebut. Ada
mahasiswa lain berkata, "Prof, boleh saya bertanya sesuatu ?"
"Tentu saja," jawab si Profesor.
Mahasiswa : "Prof, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu ? Tentu saja dingin itu ada."
Mahasiswa itu menyangkal, "Kenyataannya, Prof, dingin itu tdk ada. Menurut hukum fisika, yg kita anggap dingin itu adlh ketiadaan panas. Suhu-460F adalah ketiadaan panas sama sekali & semua partikel menjadi diam & tdk bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin utk mendeskripsikan ketiadaan panas".
Mahasiswa itu melanjutkan, "Prof, apakah gelap itu ada ?"
Prof itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa
itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Prof. Gelap itu jg tdk ada.
Gelap adalah keadaan dimana tdk ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari,
gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton utk memecahkan cahaya jadi beberapa warna & mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dg berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Prof, apakah kejahatan itu ada?"
Dgn bimbang prof itu menjawab, "Tentu saja!"
Mahasiswa
itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Prof. Kejahatan itu TIDAK ADA.
Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan
adalah kata yg dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan,
Tuhan tak menciptakan kejahatan.
Kejahatan adalah hasil dari tak adanya Tuhan dihati manusia..."
Profesor itupun terdiam...:
TES
8:03:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Percakapan Professor dengan seorang mahasiswa
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
8:03:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Uang receh adalah uang koin yang memiliki
nominal yang lebih kecil dari pada uang kertas.
Uang receh juga sering disebut uang logam, uang koin ataupun uang pecah oleh
masyarakat. Uang receh menjadi bagian dari kehidupan ekonomi sebagian
masyarakat. Di dunia marketing, uang receh punya peran dalam pembentukan odd
price. Orang Marketing senang menggunakan odd price, yakni harga
psikologis untuk membuat konsumen merasa bahwa produk yang dibeli tidak mahal.
Kita bisa melihat odd price ini seperti 9.999 atau 5.555. Selain
membuat produk terkesan tidak mahal, odd price diperlukan untuk
menjaga harga agar tetap kompetitif dibandingkan competitor
Kehadiran uang receh juga memiliki makna
tersendiri bagi mahasiswa . Dari
hasil Observasi dan wawancara mahasiswa-mahasiswi salah satu universitas negeri disurakarta ), mahasiswa ini mempunyai perlakuan unik terhadap
uang receh sesuai dengan latar belakangnnya masing-masing dari yang
mengganggapnya hanya sebagai nilai tukar yang kecil sampai ada yang menganggap
bahwa uang receh adalah sesuatu yang “amazing”.
Berbagai fenomena gerakan social yang menggunakan uang receh sebagai medianya ternyata sedikit banyak juga mempengaruhi persepsi mahasiswa-mahasiswa
ini tentang makna uang receh baginya. Bahkan
beberapa dari mahasiswa ini terlibat dalam gerakan-gerakan social yang
menggunakan uang receh sebagai medianya.
B. Herarki Oposisi Makna uang receh
Uang Receh adalah salah satu jenis uang yang sah
digunakan sebagai alat tukar. Di lingkungan kampus yang padat dengan jadwal
kuliah , peredaran uang receh juga menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa.
Mahasiswa Kos dan mahasiswa yang yang
mempunyai pekerjaan sampingan ternyata akrab dengan uang receh ini. Mahasiswa
mahasiswa ini biasanya mendapatkan uang receh dari berbagai kegiatan, ada yang
dari uang kembalian belanja, maupun dari menemukannya dijalan. Kebanyakan dari
mahasiswa menggunakan uang receh sebagai alat pembayaran ketika kondisi
keuangan mereka sedang “seret”. “ Ya pake
uang receh kalo kondisi keuangan lagi seret aja, kalo punya uang besar yang
nggak pake recehan ,”kalo lagi kepepet
ya nggak malu apalagi kalo pake tantangan lebih nggak tau malu lagi
bayar pake uang recehan ,uang receh kan juga duit sah ”, jawab
arif seorang mahasiswa sosiologi antropologi yang kemarin sempat saya
wawancarai . Beberapa mahasiswa
berpendapat bahwa uang receh memang mempunyai
keterbatasan dalam segi nilai dan
kepraktisan. Arnas seorang mahasiswa pengumpul uang receh yang ketika itu saya wawancarai
berkata bahwa “uang receh itu kalau
dibawa krincing-krincing bunyinya jadi disimpen di kos aja” hal ini
menandakan bahwa uang receh memang begitu sulit dan merepotkan ketika akan
dibawa kemana-mana. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih untuk
mengumpulkannya daripada harus menggunakannya dalam kegiatan ekonomi. Seperti
yang dilakukan oleh Fedri salah satu mahasiswa yang juga bekerja paruh waktu
diwarung nasi uduk “Cak Noer” ia mengumpulkan uang receh dengan berbagai
nominal sampai bertoples-toples jumlahnya dari pada membelanjakannya.
Uang receh sebagai uang hanya dipandang sebagai alat
tukar dan satuan hitung yang bersifat kecil ,misalnya ketika digunakan dalam
suatu kegiatan ekonomi, Uang receh hanya mampu menjangkau barang-barang yang
harganya relative murah. “Pernah juga beli
barang dengan uang receh tapi sangat
jarang ya kalau kondisi lagi kepepet aja . paling besar belanja dengan uang
receh sebesar Rp. 5.000,- terdiri dari Pecahan Rp200,- sampai Rp. 500,-
jawab arif. “Pernah juga belanja dengan
uang receh tapi sangat jarang . paling besar belanja dengan uang receh sebesar
Rp. 3.000,- terdiri dari Pecahan Rp. 500,- Untuk membeli Gorengan Di dekat
rumah soalnya yang jualan tetangga sendiri kalau bukan tetangga sendiri ya
nggak pake uang receh ”jawabnya.
C. Oposisi Biner tentang makna Uang
receh
Menurut George
Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan
erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self)
menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang
lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan
dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba
memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep
diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik
pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif
berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai
pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena
interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian
membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang
dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian
atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri
obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang
bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.
Menurut
Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah
berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu
yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran
dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja
menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum
perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri
kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka
bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang
lain menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan
menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi
interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan
perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga
premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;
1. manusia bertindak berdasarkan
makna-makna,
2. makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain, dan
3. makna tersebut berkembang dan
disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung
Pemaknaan uang receh sebagai alat tukar
kini mulai luntur. Dengan segala keterbatasannya kebanyakan mahasiswa lebih
memilih uang kertas dari pada uang receh sebagai alat tukar atau alat
pembayaran. Alasannya jelas, uang kertas yang notabene bernominal besar lebih simpel
dan praktis dalam pembawaan maupun penggunakannya. Dibandingkan dengan nilai tukarnya, nilai
simbolik uang receh ternyata lebih mempunyai daya tarik tersendiri kususnya
bagi mahasiwa-mahasiswa ini. Makna Simbolik dari sebuah uang receh ternyata
sempat menjadi fenomena besar dimasyarakat. Pergerakan social menuju perubahan
dapat terjadi olehnya. Uang receh digalangkan untuk
melawan ketidakadilan hukum pada kasus prita , uang receh digunakan
sebagai bentuk riil dari sebuah rasa
peduli terhadap sesama seperti kasus bilqis dan juga uang receh pun kerap disebut dengan uang
pengemis atau pengamen karena penggunakannya yang seakan diperuntukan pada
mereka. Hal ini merupakan contoh nyata dimana uang receh lebih dipahami sebagai
sesuatu yang bersifat simbolik. Banyak mahasiswa yang menjadikan fenomena ini
menjadi pijakan bahwa uang receh lebih bermakna nilai simboliknya dari pada
nilai tukarnya. Selain seperti hal diatas mahasiswa juga memiliki pemaknaan sendiri terhadap
nilai uang receh sesuai dengan kepribadiannya masing masing. Mahasiswa seperti
Arnas yang seorang yang mempunyai naluri
seni Misalnya, ia memandang uang
receh sebagai symbol kreatifitas. Menurutnya ada beberapa kegunaan uang receh
yang tidak diketahui banyak orang. Uang receh ditangannya bisa dibuat karya
seni keajinan tangan. “uang receh itu
saya kumpulkan buat koleksi aja atau buat pajangan lalu kalo ada waktu senggang
saya susun jadi castile, patung atau mobil-mobilan”,jawabnya. “Uang receh itu awet, dengan bahan dasar yang
tidak gampang rusak itu uang receh dapat dimanfaatkan untuk membuat hiasan atau
karya seni yang indah bernilai jual tinggi . “ Dulu Saya pernah membuat
tumpukan uang receh berbentuk rumah dan ditawar oleh teman saya untuk mahar
pernikahannya sebesar Rp. 1 Juta tapi tidak saya berikan”, jawabnya .Menurutnya tidak etis jika memperjual
belikan uang untuk mendapat uang membuatnya pun juga susah susah gampang. (Wawancara
dengan arnas mahasiswa pendidikan sosiologi antropologi 2009b yang
merupakan mahasiswa yang hobi mengumpulkan
uang receh ).
Pemakanaan lainya juga diberikan oleh
Gigih mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi yang sangat rutin mekakukan
perjalanan Solo-Sragen dengan sepeda motornya untuk mengikuti kegiatan kegitan
perkuliahan setiap harinya., Menurutnya uang receh merupakan simbolisasi dari
rasa kebersamaan dan gotong royong warga didesanya. “Pernah nyumbangdan ikut jaga malam, Untuk Jimpitan semacam iuran atau sumbangan
perumah untuk kas ronda yang biasanya digunakan uang membelikan makanan atau
minuman untuk yang jaga ronda”,jawabnya. jimpitan salah satu contoh dimana uang receh berfungsi sebagai pembentuk
rasa kebersamaan dan gotong royong antar warga kampung. Uang receh menjelma
menjadi suatu sarana bagi setiap warga desa untuk menunjukan rasa solidaritas
dan patisipatif kepada sesamanya yang sedang melakukan jadwal ronda malam.
Pemaknaan lain juga
di berikan oleh mahasiswa - mahasiswa yang mempunyai latar belakang organisasi.
Ardana dan Pendi misalnya, menganggap uang receh sebagai simbolisai dari
rasa kepedulian terhadap sesama. “ Pernah menggunakan uang receh , Ketika bakti sosial dan
menggalang dana untuk para korban merapi dulu.Sebagian besar orang memiliki
uang receh . ketika ada kegiatan sosial seperti
penggalangan dana misalnya untuk korban bencana, infak, pembangunan
jalan, disinilah uang receh dapat menyentuh berbagai lapisan sosial
masyarakat. ”Uang receh itu sebenarnya
uang yang simpel sayang masyarakat kita saja yang belum tahu cara
memanfaatkannya ”,jawabnya dengan 1 coin
uang receh dapat menunjukan rasa kepedulian kita terhadap sesama. ”justru karena
nilainya yang kecil itu uang receh cocok digunakan sebagai media gerakan sosial
yang melambangkan kekuatan rakyat”,tegasnya ( Wawancara dengan pendi dan ardana yang
merupakan mantan pengurus himpunan mahasiswa prodi Sosiologi Antropologi).
Organisasi memberikan berbagai pengalaman kepada mereka tentang pergerakan
sosial beserta realitasnya. Menggunakan uang receh sebagai infak merupakan
salah satu wujud dari rasa peduli tersebut. Uang receh dapat menyentuh semua
kalangan, dengan nilainya yang kecil itu hampir semua elemen msyarakat mudah
hal inilah yang menjadikan uang receh sebagai
simbolisasi dari kekuatan rakyat (Masyarakat kelas bawah).
Uang receh juga dimaknai berbeda oleh Fedri mahasiswa yang bekerja paruh
waktu di warung nasi uduk dan juga mempunyai bisnis kripik tahu ini. Menurutnya
Uang receh adalah sebagai media kritik yang dapat mempengaruhi mood seseorang
terutama pedagang. “Selain
Untuk belanja kripik, Saya biasanya juga
pake uang receh untuk member pelajaran para agen kripik tahu ketika tahu yang saya
beli ternyata sudah mlempem atau cacat produksi”, jawabnya Uang receh itu unik
kalau ada biasanya tidak terlalu diperhatikan tetapi kalau tidak ada orang
malah bingung mencarinya. “ uang receh itu dapat mempengaruhi mood
seseorang.”saat itu saya belanja keripik tahu sebesar Rp. 140.000,- dengan uang
receh, si penjual yang pada mulanya ramah dan murah senyum berubah jadi pasang
muka jutek, nada bicaranya pun menjadi tidak ramah “Uang receh itu memang tidak
praktis, menyita banyak tempat, dan orang sering memandang remeh karena
nilainya yang kecil Uang Receh itu alat pembayaran yang sah dinegara Indonesia “biarpun
nilainya kecil, uang receh jadi bagian dari hidup saya, uang saku saya, sekaligus sesuatu yang memberikan pengalaman
kepada saya betapa nggak mudahnya mencari uang “, jawabnya tegas. ( hasil Wawancara
dengan Fedri ketika saya temui berada di perpustakaan pusat di UNS )
D.
Kontruksi
makna Simbolik Uang Receh
Sudah menjadi sifat manusia untuk kurang
menghargai terhadap sesuatu yang kurang bernilai seperti halnya uang receh.
Uang receh dengan nilai yang sangat kecil cenderung tidak begitu digunakan dalm transaksi
pembayaran sehari-hari. Esensi uang receh sebagai alat tukar agaknya mulai
dikesampingkan oleh mahasiswa. Rasa malu membuat uang receh kini menjadi jarang
digunakan oleh mahasiswa dalam melakukan kegiatan ekonominya dan memilih untuk
menghimpunnya . Justru di lain sisi makna
simbolik dari uang receh yang kini dikonsumsi oleh mahasiswa ini. Nilai
simbolik uang receh dirasa lebih mempunyai manfaat penting dalam memberikan
dampak pada kehidupan sosialnya. Dalam realitas sehari-hari saja paling mudah
kita temui tentang seseorag yang membeir pengemis dengan uang receh, itu sudah
merupakan symbol kepedulian dari seseorang yang memberi itu. Makna uang receh
itu tercipta ketika seseorang mempunyai persepsi sendiri-sendiri dalam memaknai
itu. Misalkan makna uang receh dalam kasus Prita tentu akan berbeda dengan makna
uang receh ketika kita membeli barang di toko. Fungsi dasar uang receh memang
sebagai alat pembayaran, tapi dibalik itu semua masyarakat tidak sadar bahwa mereka
sebenarnya memaknai uang receh dari segi simboliknya dari pada nilai tukarnya. Dari pemaknaan –pemaknaan diatas dapat
dilakukan suatu kontruksi mengenai makna
uang receh yang kini lebih dipandang sebagai suatu yang melambangkan symbol
sosial antara lain seperti berikut :
1. Uang
receh sebagai simbol perlawanan
2. Uang
receh sebagai simbol kepedulian
3. Uang
receh sebagai symbol Kebersamaan
4. Uang
receh sebagai symbol masyarakat kecil
5. Uang
receh sebagai media kritik
DAFTAR
PUSTAKA
Christopher
Norris.2009.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.Jakarta:Ar-Euss Media
Geoge
Ritzer-Douglas J.Goodman. 2008.Teori Sosiologi Modern( Edisi 6
).Jakarta:Kencana
Dekonstrusi Makna Uang Receh ( Kajian Etnografi )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:46:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Alkisah Socrates masuk Islam. Kemudian selagi ngabuburit di Indonesia
bersama gebetannya, datanglah waktu sholat maghrib. Maka Socrates
menyempatkan mampir di sebuah masjid. Sedangkan si pacar menunggu di
warung terdekat.
Lalu ia ikut sholat berjamaah. Karena baru
muallaf ia berusaha keras agar bisa terlihat tenang seperti orang Islam
lainnya. Dari awal hingga akhir, ia praktikkan semua ajaran yang ia
pelajari dari guru-guru atau buku-buku mengenai keIslaman. Karena basicnya
Socrates seorang filosuf, maka tidak terlalu sulit baginya untuk terus
menambah khazanah keilmuan agama barunya tersebut. Apalagi soal rukun
Islam yang di dalamnya terdapat perintah sholat lima waktu. Seluruh
referensi tentang salah satu kewajiban umat Islam itu terus tergali dan
tersimpan dalam benaknya lekat-lekat. Tinggal bagaimana ilmu-ilmu itu
dapat disinkronisasi dengan kondisi batin ketika sedang sholat, agar ia
dapat mengalami apa yang dinamakan khusyu’, demikian menurut
pendapatnya.
Ketika akhir salam dan sholat selesai, segera si
filosuf ini membaca zikir yang sesuai dengan apa yang ia pelajari dari
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tetapi tiba-tiba seseorang
mencolek bahunya terus menerus. Karena Socrates merasa terganggu, ia
torehkan pandangannya kepada si pencolek.
“Ada apa, Pak?” Tanya Socrates.
“Kalau habis sholat, salaman dulu sama yang di sebelah, depan dan belakang.” Jawab orang tersebut setengah berbisik.
“Bukannya kalau di teorinya habis sholat itu zikir ya, pak?” Ujar Socrates setengah berbisik.
“Yeee… Salaman dulu atuh.”
“Salaman bagian dari sholat ya pak?”
“Nggak afdhol nanti kalau nggak salaman.”
“Hah,
apa bener, pak?” Setengah kaget cengok dan merasa ritual meraih
kekhusyu’an yang susah payah dilakukannya pas sholat tadi gagal total.
“Iya bener, lihat tuh Kyainya saja di depan salaman, masak anda tidak. Anda belajar agama dari Kyai bukan?”
“Iya sih pak.”
“Nah, dimana-mana Kyai tuh habis sholat salaman, makanya kita juga harus begitu.”
“Ooo..” Socrates tertegun dengan ceramah dari seseorang disebelahnya yang ternyata merangkap Ustaz di masjid tersebut.
“Lagipula nanti kalau anda nggak salaman setelah sholat, bisa nggak mendapatkan berkah orang-orang yang sholat.”
“Oh, berkah ya pak, tapi kok gak ada tumpukan karton nasi-nasi.”
“Itu berkat, bukan berkah atuh. Beda lagi.”
“Iya,
iya, maaf pak, saya cuma baru tahu aja nih ilmu baru dari bapak,
biasanya di buku dan kitab-kitab tentang rukun dan tuntunan sholat Nabi,
nggak ada ritual salaman sehabis sholat, tapi baru tahu aja nih.”
“Nah, kan karena anda baru tahu maka amalkan. Mengamalkan amal baik itu kan berpahala, betul nggak?”
“Hmm… Hmmm…” Gumam Socrates seraya mengangguk-angguk meski masih ada beberapa pertanyaan bingung di kepalanya.
“Tapi pak, kalau pas saya sholat di sana, nggak ada salaman habis sholat kaya di sini?” Tanya Socrates.
“Di
sana berbeda, masjidnya saja beda, lagipula di sana pengamalan amal
sholihnya kurang, jadi nggak mau susah-susah, mau yang gampang dan
ringkas saja.”
“Jadi di sana nggak mau ngamalin amal sholih yang kecil-kecil seperti salaman habis sholat, ya pak.”
"Jangan
bilang-bilang ya, kalau kamu shalat di masjid dekat kampus yang itu
tuh, nanti kamu bisa dibilang sesat kalau sehabis shalat pakai salaman
segala."
"Ada juga ya pak yang kaya begitu?"
“Iya. Itu bedanya di sini dan di sana.”
“Memangnya di sana masjid apa, pak?”
“Ada
banyak, kalau di dekat poskamling, Masjid Muhammadiyah. Kalau di dekat
pasar, Masjid PKS. Kalau di samping lapangan Masjid Persis, kalau yang
suka sesat-sesat tadi masjid wahhabi namanya, terus sama yang di sini
nih, Masjid NU.”
“Ooo… Begitu. Oya Pak, ngomong-ngomong terima kasih, Pak. Saya mau pergi dulu.”
“Lho,
kok buru-buru? Obrolan kita belum selesai lho! Memangnya saudara mau
kemana sebenarnya?” Tanya Bapak itu mencegah lawan diskusinya untuk
beranjak pergi.
“Maaf Pak, Sepertinya saya salah masuk, padahal
tadi saya lagi cari masjid orang Islam, permisi. Punten, Pak.” Ujar
Socrates dengan nada sopan sambil ngeloyor pergi setelah permisi.
TES
4:54:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Kisah Socrates Jadi Muallaf
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
4:54:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Apa merek baju yang
Anda pakai? Levi's, Ralph Laurent, Cerruti, Calvin Klein, atau bikinan lokal
tapi bermerek asing seperti LEA atau Van Hausen. Baju memang tidak sekadar
penutup tubuh. Mungkin zaman dulu, iya. Kala itu, baju hanya berfungsi sebagai
penutup tubuh, itu juga kalau dibutuhkan. Tidak selalu. Dan sampai kini pun,
masih ada daerah di pedalaman di Jambi, Kalimantan, dan Papua, yang tidak
memakai baju. Kecenderungan yang umum sekarang, terutama di kota besar layaknya
ibukota seperti Jakarta maupun Solo , fungsi baju jauh dari sekadar penutup
tubuh, tetapi sudah menjadi simbol, sebuah simbol status sosial. Orang-orang
kaya biasanya memilih baju-baju bermerek untuk menunjukkan status kemampuannya.
Orang-orang yang perekonomiannya sedang, bahkan yang mepet, kadang ingin juga
tampil keren dengan baju merek terkenal. Tak heran kalau kemudian pemalsuan
menjamur. Maklum, mereka yang sedang-sedang saja itu hanya sanggup beli yang
palsu. Kalaupun yang asli, lari ke sisa ekspor.
Fenomena itu yang
sekarang terjadi dalam lingkungan mahasiswa kita. Mahasiswa dan Mahasiswi ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang
bermerek ( Pakaian ) mereka baik merek lokal maupun
merek Internasional juga. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda mereka
mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek ini. Ada yang memang
dari kalangan ekonomi atas ,menengah dan juga bawah semuanya terlibat dalam
konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, dan ada pula yang karena gengsi.
Satu peristiwa yang unik disini ketika Ada sosok mahasiswa dimana ia memaksa dirinya
untuk rela “ngirit” atau berhemat
dengan mengurangi pengeluaran makan demi mendapatkan barang –barang bermerek (
baju, celana. Jaket dan sepatu ) yang mereka inginkan. Hal ini menjadi menarik
untuk dikaji karena nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak
terlalu diperhatikan lagi dan yang
paling utama dicari mahasiswa ini adalah nilai simbolik dan prestisnya. Persoalan
ini menjadi begitu pelik melihat keadaan mayoritas masyarakat Indonesia
masih dalam jurang kemiskinan
yang sebenarnya sedang membutuhkan
suatu masyarakat dalam pola hidup yang
sederhana.
A. Analisis Menggunakan Teori Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya (Theodor Adorno)
Saat ini partisipasi
masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas
dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Adorno dengan “masyarakat komoditas”
(commodity society). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai
“masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama,
masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama
bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan.
Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah
konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan
operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari
barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi,
terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit
dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus
menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara,
melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan
kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka
sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita
kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama,
hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang
ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of
antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi”
(economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).
Seperti Halnya
Fenomena merek dikalangan mahasiswa ini,Pemilihan objek-objek konsumsi yang berupa
komoditi misalnya Pakaian
tidak lagi sekedar dilihat dari manfaat (nilai guna) dan harga
(nilai-tukar). Lebih dari itu, apa yang dikonsumsi kini melambangkan status,
prestise, dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan
nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan
dan kehormatan, menjadi komoditas yang banyak dicari untuk meneguhkan identitas
seseorang yang sebenarnya adalah sesuatu yang tidak mereka butuhkan ( kebutuhan
palsu ) . Inilah bentuk hasil Industri budaya ( yang dikatakan adorno
) yang membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran
mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu ini . Mahasiswa ini bukan lagi memuja suatu produk industri
budaya ( Pakaian ) yang secara nyata ada , tetapi pemujaan tersebut lebih
cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut.
Sedangkan Fetisisme
komoditasnya yaitu upaya yang dilakukan
industri sedemikian rupa hingga menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu
produk industri budaya kepada masyarakat. Misalnya Citra di iklan di televisi maupun media promosi dalam hal preferensi
kehidupan sosial masyarakat komoditi. Iklan berbasis visual dalam produksi
budaya menciptakan strategi-strategi promosi yang terkadang bersifat
hiperealitas dalam menentukan jenis,
nilai guna dan nilai tambah suatu produk yang bertujuan menggiring mahasiswa (
konsumn ) ini menuju suatu proses Konsusmsi . Contoh sederhana adalah konsep “ganteng”
tak lagi sebatas dengan ganteng secara fisik namun industry dan media ini
memodifikasi Konsep ganteng ini menjadi ganteng
itu ketika seseorang memakai pemakaian barang-barang yang bermerek mahal dan
terkenal , dan dan memberi penguatan- penguatan negative bila seseorang
tidak mengkonsumsinya. ( missal kalau
tidak memakai produk bermerek Star**** di disebut ketinggalan jaman atau kuno).
Akhrinya yang menentukan ‘Ganteng’ dan ‘tidak’nya adalah iklan televise ( media
) . Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan misinya tersebut hingga
orang ( Mahasiswa ) tidak menyadari apa yang tengah terjadi terhadapnya. Justru
Fakta lain muncul dimana Dengan dapat mengkonsumsi barang bermerek terkenal dan
mahal ini, seakan mereka mempunyai
kekuasaan untuk merendahkan seseorang yang tidak memakai apa yang mereka
konsumsi itu. Dan dampak buruknya lagi sesorang yang sedang dikuasai tersebut
malah menjadi termotivasi untuk berlomba-lomba mendapatkan merek yang lebih
dari yang ditunjukan pada mereka.
Refleksi :
Memang Dibenarkan
Selain simbol kestatusan, barang bermerek juga bisa menjadi simbol kredibilitas. Jika
mau bertemu dengan klien di hotel, misalnya, Anda perlu memakai baju yang
halus, licin, dan bermerek biar dia percaya akan kredibilitas kita. Bahwa
kredibiltas itu semu, tidak masalah dalam dunia yang hedonis seperti sekarang
ini. Menjadi sedikit diwajarkan jika kemudian banyak orang yang menghalalkan
segala cara agar dapat tampil keren. Mereka ingin diakui statusnya sebagai
orang yang tinggi strata sosialnya, mereka juga ingin diakui kredibilitasnya.
Apalagi mereka yang modal otaknya tak pas bandrol, maka penampilanlah yang jadi
senjata.
Kami menyimpulkan sebetulnya tidak menjadi masalah mengkonsumsi
barang bermerek ataupun tidak bermerek , dalam hal ini yang terpenting adalah nilai pakai dari barang tersebut yang disesuaikan dengan tingkat
ekonomi dan kebutuhan kita serta tidak menggunakanya untuk merendahkan orang
lain karena kita lahir dalam latar
belakang ekonomi dan lingkungan yang berbeda-beda.Ada yang Mampu ada yang serba
kekurangan. Tidak ada larangan untuk menikmati hidup yang hanya sekali ini.
Kalau memang senang barang bagus, kita bebas membeli dan memakainya. Senang
dengan segala bentuk kemewahan lainnya, silakan saja dan nikmatilah dengan
keluarga tercinta, tetapi ada bagusnya kalau kita tetap darling (sadar
lingkungan ) bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih berada di bawah kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003.
Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, danImplikasinya).
Yogyakarta: Kreasi Wacana
TES
9:11:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Fenomena Merek Dikalangan Mahasiswa
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:11:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa
yang kita miliki :
Cinta dan penyesalan ( Cerita Inspiratif )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
1:27:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)