Home
»
All posts
Tradisi ‘Mudik alias Pulang Kampung’
tentunya sudah familiar di telinga kita. Mudik merupakan agenda akhir tahunan pada setiap menjelang hari lebaran.
Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan
sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa
kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan
komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Mereka senantiasa sangat antusias untuk
melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. tak peduli harus
membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran,
harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang
tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan
berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan
fenomena seperti ini. Hal itu bisa dilihat (potret) melalui media massa
elektronik TV, antrian begitu padat yang ada di terminal, stasiun,
pelabuhan, maupun yang ada di bandara.
Secara terminus dan berbagai sumber yang ada bahwa istilah mudik berasal dari kata “udik “yang
berarti kampung atau desa. Jika diartikan secara umum bahwa mudik
berarti balik atau pulang ke daerah asal. Sedangkan mudik menurut Kamus
Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976) adalah
pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya
hari lebaran. Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar
orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di
kota besar metropolitan.
Faktor Pendorong
Tak di pungkiri bahwa era sekarang di
sebut sebagai era IPTEK (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan
menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM (blackberry),
internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk
yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika
melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan
untuk di jangkau oleh seseorang. Tetapi masyarakat merasa bahwa
komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental
(alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.
Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito,
ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan
tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum
menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada
pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan
orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi :1.
Mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan
tetangga.2. Terapi psikologis 3. lebaran untuk refreshing dari
rutinitas pekerjaan sehari-hari 3. Mengingat asal usul 4. Unjuk diri,
bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Makna Sosio-Kultural
Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi.
Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang bercirikan sebagai nuclear family
(keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang
namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman,
bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani. Di
samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak
tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat
mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orang tua tercinta
maupun sanak keluarga yang ada.
Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka
jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang
bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya
yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya
pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka
bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain,
bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang
di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi
dengan lingkungan sosial.
Tentunya, hal tersebut terjadi karena
rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti
apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai “robopaths”. Robopaths
telah kehilangan kreatifitas dan inovatif. Bagi penulis, tanpa maksud
untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada
dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.
Untuk itu dalam kesempatan tertentu
seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian
pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan
merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir
suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan
tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada
di kampung halaman.
Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu,
akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan
makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain
(Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow
merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow
kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang
penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala
kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.
Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917)
disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan
melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan
sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa
saling melupakan silaturahmi antar sesama.
Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact),
dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di
sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta
dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di
lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat
ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu
ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap
perasaan yang ingin di sampaikan, hal senada di katakan Maryati dan Suryawati (2003).
Momen seperti ini jarang kemudian
terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi
yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik
dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian
kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat.
Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling
memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang
sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat
sosial kemasyarakatan.
Selamat Mudik
sumbere referensi : Kompasiana
TES
11:08:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Tradisi Mudik dan Maknanya dalam perspektif Sosiologi
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
11:08:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Profesor: "Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada?"
Mahasiswa: "Betul, Dia yg menciptakan semuanya."
"Tuhan menciptakan smuanya??" tanya profesor sekali lagi.
"Ya prof, semuanya," kata mahasiswa itu.
Prof: "Jika Tuhan mnciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan..."
Mahasiswa
itu terdiam & tdk bisa menjawab hipotesis profesor tersebut. Ada
mahasiswa lain berkata, "Prof, boleh saya bertanya sesuatu ?"
"Tentu saja," jawab si Profesor.
Mahasiswa : "Prof, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu ? Tentu saja dingin itu ada."
Mahasiswa itu menyangkal, "Kenyataannya, Prof, dingin itu tdk ada. Menurut hukum fisika, yg kita anggap dingin itu adlh ketiadaan panas. Suhu-460F adalah ketiadaan panas sama sekali & semua partikel menjadi diam & tdk bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin utk mendeskripsikan ketiadaan panas".
Mahasiswa itu melanjutkan, "Prof, apakah gelap itu ada ?"
Prof itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa
itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Prof. Gelap itu jg tdk ada.
Gelap adalah keadaan dimana tdk ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari,
gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton utk memecahkan cahaya jadi beberapa warna & mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dg berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Prof, apakah kejahatan itu ada?"
Dgn bimbang prof itu menjawab, "Tentu saja!"
Mahasiswa
itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Prof. Kejahatan itu TIDAK ADA.
Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan
adalah kata yg dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan,
Tuhan tak menciptakan kejahatan.
Kejahatan adalah hasil dari tak adanya Tuhan dihati manusia..."
Profesor itupun terdiam...:
TES
8:03:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Percakapan Professor dengan seorang mahasiswa
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
8:03:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Suatu Ketika,
Ada Murid kelas 3 SD yang sama, mereka memiliki cita-cita yang sama pula
yaitu menjadi badut.
Guru Senior pasti mencela, “Tidak mempunyai
cita-cita yang luhur, anak yang tidak bisa dibina!”
Sedangkan guru Muda akan bilang, “Semoga Anda membawakan kecerian bagi seluruh dunia!”
Terkadang orang yang lebih tua, bukan hanya lebih banyak menuntut daripada memberi semangat, malahan sering membatasi definisi keberhasilan dengan arti yang sempit.
TES
7:22:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Sedangkan guru Muda akan bilang, “Semoga Anda membawakan kecerian bagi seluruh dunia!”
Terkadang orang yang lebih tua, bukan hanya lebih banyak menuntut daripada memberi semangat, malahan sering membatasi definisi keberhasilan dengan arti yang sempit.
Motivasi Seorang Guru
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:22:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Uang receh adalah uang koin yang memiliki
nominal yang lebih kecil dari pada uang kertas.
Uang receh juga sering disebut uang logam, uang koin ataupun uang pecah oleh
masyarakat. Uang receh menjadi bagian dari kehidupan ekonomi sebagian
masyarakat. Di dunia marketing, uang receh punya peran dalam pembentukan odd
price. Orang Marketing senang menggunakan odd price, yakni harga
psikologis untuk membuat konsumen merasa bahwa produk yang dibeli tidak mahal.
Kita bisa melihat odd price ini seperti 9.999 atau 5.555. Selain
membuat produk terkesan tidak mahal, odd price diperlukan untuk
menjaga harga agar tetap kompetitif dibandingkan competitor
Kehadiran uang receh juga memiliki makna
tersendiri bagi mahasiswa . Dari
hasil Observasi dan wawancara mahasiswa-mahasiswi salah satu universitas negeri disurakarta ), mahasiswa ini mempunyai perlakuan unik terhadap
uang receh sesuai dengan latar belakangnnya masing-masing dari yang
mengganggapnya hanya sebagai nilai tukar yang kecil sampai ada yang menganggap
bahwa uang receh adalah sesuatu yang “amazing”.
Berbagai fenomena gerakan social yang menggunakan uang receh sebagai medianya ternyata sedikit banyak juga mempengaruhi persepsi mahasiswa-mahasiswa
ini tentang makna uang receh baginya. Bahkan
beberapa dari mahasiswa ini terlibat dalam gerakan-gerakan social yang
menggunakan uang receh sebagai medianya.
B. Herarki Oposisi Makna uang receh
Uang Receh adalah salah satu jenis uang yang sah
digunakan sebagai alat tukar. Di lingkungan kampus yang padat dengan jadwal
kuliah , peredaran uang receh juga menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa.
Mahasiswa Kos dan mahasiswa yang yang
mempunyai pekerjaan sampingan ternyata akrab dengan uang receh ini. Mahasiswa
mahasiswa ini biasanya mendapatkan uang receh dari berbagai kegiatan, ada yang
dari uang kembalian belanja, maupun dari menemukannya dijalan. Kebanyakan dari
mahasiswa menggunakan uang receh sebagai alat pembayaran ketika kondisi
keuangan mereka sedang “seret”. “ Ya pake
uang receh kalo kondisi keuangan lagi seret aja, kalo punya uang besar yang
nggak pake recehan ,”kalo lagi kepepet
ya nggak malu apalagi kalo pake tantangan lebih nggak tau malu lagi
bayar pake uang recehan ,uang receh kan juga duit sah ”, jawab
arif seorang mahasiswa sosiologi antropologi yang kemarin sempat saya
wawancarai . Beberapa mahasiswa
berpendapat bahwa uang receh memang mempunyai
keterbatasan dalam segi nilai dan
kepraktisan. Arnas seorang mahasiswa pengumpul uang receh yang ketika itu saya wawancarai
berkata bahwa “uang receh itu kalau
dibawa krincing-krincing bunyinya jadi disimpen di kos aja” hal ini
menandakan bahwa uang receh memang begitu sulit dan merepotkan ketika akan
dibawa kemana-mana. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih untuk
mengumpulkannya daripada harus menggunakannya dalam kegiatan ekonomi. Seperti
yang dilakukan oleh Fedri salah satu mahasiswa yang juga bekerja paruh waktu
diwarung nasi uduk “Cak Noer” ia mengumpulkan uang receh dengan berbagai
nominal sampai bertoples-toples jumlahnya dari pada membelanjakannya.
Uang receh sebagai uang hanya dipandang sebagai alat
tukar dan satuan hitung yang bersifat kecil ,misalnya ketika digunakan dalam
suatu kegiatan ekonomi, Uang receh hanya mampu menjangkau barang-barang yang
harganya relative murah. “Pernah juga beli
barang dengan uang receh tapi sangat
jarang ya kalau kondisi lagi kepepet aja . paling besar belanja dengan uang
receh sebesar Rp. 5.000,- terdiri dari Pecahan Rp200,- sampai Rp. 500,-
jawab arif. “Pernah juga belanja dengan
uang receh tapi sangat jarang . paling besar belanja dengan uang receh sebesar
Rp. 3.000,- terdiri dari Pecahan Rp. 500,- Untuk membeli Gorengan Di dekat
rumah soalnya yang jualan tetangga sendiri kalau bukan tetangga sendiri ya
nggak pake uang receh ”jawabnya.
C. Oposisi Biner tentang makna Uang
receh
Menurut George
Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan
erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self)
menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang
lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan
dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba
memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep
diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik
pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif
berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai
pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena
interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian
membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang
dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian
atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri
obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang
bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.
Menurut
Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah
berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu
yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran
dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja
menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum
perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri
kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka
bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang
lain menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan
menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi
interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan
perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga
premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;
1. manusia bertindak berdasarkan
makna-makna,
2. makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain, dan
3. makna tersebut berkembang dan
disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung
Pemaknaan uang receh sebagai alat tukar
kini mulai luntur. Dengan segala keterbatasannya kebanyakan mahasiswa lebih
memilih uang kertas dari pada uang receh sebagai alat tukar atau alat
pembayaran. Alasannya jelas, uang kertas yang notabene bernominal besar lebih simpel
dan praktis dalam pembawaan maupun penggunakannya. Dibandingkan dengan nilai tukarnya, nilai
simbolik uang receh ternyata lebih mempunyai daya tarik tersendiri kususnya
bagi mahasiwa-mahasiswa ini. Makna Simbolik dari sebuah uang receh ternyata
sempat menjadi fenomena besar dimasyarakat. Pergerakan social menuju perubahan
dapat terjadi olehnya. Uang receh digalangkan untuk
melawan ketidakadilan hukum pada kasus prita , uang receh digunakan
sebagai bentuk riil dari sebuah rasa
peduli terhadap sesama seperti kasus bilqis dan juga uang receh pun kerap disebut dengan uang
pengemis atau pengamen karena penggunakannya yang seakan diperuntukan pada
mereka. Hal ini merupakan contoh nyata dimana uang receh lebih dipahami sebagai
sesuatu yang bersifat simbolik. Banyak mahasiswa yang menjadikan fenomena ini
menjadi pijakan bahwa uang receh lebih bermakna nilai simboliknya dari pada
nilai tukarnya. Selain seperti hal diatas mahasiswa juga memiliki pemaknaan sendiri terhadap
nilai uang receh sesuai dengan kepribadiannya masing masing. Mahasiswa seperti
Arnas yang seorang yang mempunyai naluri
seni Misalnya, ia memandang uang
receh sebagai symbol kreatifitas. Menurutnya ada beberapa kegunaan uang receh
yang tidak diketahui banyak orang. Uang receh ditangannya bisa dibuat karya
seni keajinan tangan. “uang receh itu
saya kumpulkan buat koleksi aja atau buat pajangan lalu kalo ada waktu senggang
saya susun jadi castile, patung atau mobil-mobilan”,jawabnya. “Uang receh itu awet, dengan bahan dasar yang
tidak gampang rusak itu uang receh dapat dimanfaatkan untuk membuat hiasan atau
karya seni yang indah bernilai jual tinggi . “ Dulu Saya pernah membuat
tumpukan uang receh berbentuk rumah dan ditawar oleh teman saya untuk mahar
pernikahannya sebesar Rp. 1 Juta tapi tidak saya berikan”, jawabnya .Menurutnya tidak etis jika memperjual
belikan uang untuk mendapat uang membuatnya pun juga susah susah gampang. (Wawancara
dengan arnas mahasiswa pendidikan sosiologi antropologi 2009b yang
merupakan mahasiswa yang hobi mengumpulkan
uang receh ).
Pemakanaan lainya juga diberikan oleh
Gigih mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi yang sangat rutin mekakukan
perjalanan Solo-Sragen dengan sepeda motornya untuk mengikuti kegiatan kegitan
perkuliahan setiap harinya., Menurutnya uang receh merupakan simbolisasi dari
rasa kebersamaan dan gotong royong warga didesanya. “Pernah nyumbangdan ikut jaga malam, Untuk Jimpitan semacam iuran atau sumbangan
perumah untuk kas ronda yang biasanya digunakan uang membelikan makanan atau
minuman untuk yang jaga ronda”,jawabnya. jimpitan salah satu contoh dimana uang receh berfungsi sebagai pembentuk
rasa kebersamaan dan gotong royong antar warga kampung. Uang receh menjelma
menjadi suatu sarana bagi setiap warga desa untuk menunjukan rasa solidaritas
dan patisipatif kepada sesamanya yang sedang melakukan jadwal ronda malam.
Pemaknaan lain juga
di berikan oleh mahasiswa - mahasiswa yang mempunyai latar belakang organisasi.
Ardana dan Pendi misalnya, menganggap uang receh sebagai simbolisai dari
rasa kepedulian terhadap sesama. “ Pernah menggunakan uang receh , Ketika bakti sosial dan
menggalang dana untuk para korban merapi dulu.Sebagian besar orang memiliki
uang receh . ketika ada kegiatan sosial seperti
penggalangan dana misalnya untuk korban bencana, infak, pembangunan
jalan, disinilah uang receh dapat menyentuh berbagai lapisan sosial
masyarakat. ”Uang receh itu sebenarnya
uang yang simpel sayang masyarakat kita saja yang belum tahu cara
memanfaatkannya ”,jawabnya dengan 1 coin
uang receh dapat menunjukan rasa kepedulian kita terhadap sesama. ”justru karena
nilainya yang kecil itu uang receh cocok digunakan sebagai media gerakan sosial
yang melambangkan kekuatan rakyat”,tegasnya ( Wawancara dengan pendi dan ardana yang
merupakan mantan pengurus himpunan mahasiswa prodi Sosiologi Antropologi).
Organisasi memberikan berbagai pengalaman kepada mereka tentang pergerakan
sosial beserta realitasnya. Menggunakan uang receh sebagai infak merupakan
salah satu wujud dari rasa peduli tersebut. Uang receh dapat menyentuh semua
kalangan, dengan nilainya yang kecil itu hampir semua elemen msyarakat mudah
hal inilah yang menjadikan uang receh sebagai
simbolisasi dari kekuatan rakyat (Masyarakat kelas bawah).
Uang receh juga dimaknai berbeda oleh Fedri mahasiswa yang bekerja paruh
waktu di warung nasi uduk dan juga mempunyai bisnis kripik tahu ini. Menurutnya
Uang receh adalah sebagai media kritik yang dapat mempengaruhi mood seseorang
terutama pedagang. “Selain
Untuk belanja kripik, Saya biasanya juga
pake uang receh untuk member pelajaran para agen kripik tahu ketika tahu yang saya
beli ternyata sudah mlempem atau cacat produksi”, jawabnya Uang receh itu unik
kalau ada biasanya tidak terlalu diperhatikan tetapi kalau tidak ada orang
malah bingung mencarinya. “ uang receh itu dapat mempengaruhi mood
seseorang.”saat itu saya belanja keripik tahu sebesar Rp. 140.000,- dengan uang
receh, si penjual yang pada mulanya ramah dan murah senyum berubah jadi pasang
muka jutek, nada bicaranya pun menjadi tidak ramah “Uang receh itu memang tidak
praktis, menyita banyak tempat, dan orang sering memandang remeh karena
nilainya yang kecil Uang Receh itu alat pembayaran yang sah dinegara Indonesia “biarpun
nilainya kecil, uang receh jadi bagian dari hidup saya, uang saku saya, sekaligus sesuatu yang memberikan pengalaman
kepada saya betapa nggak mudahnya mencari uang “, jawabnya tegas. ( hasil Wawancara
dengan Fedri ketika saya temui berada di perpustakaan pusat di UNS )
D.
Kontruksi
makna Simbolik Uang Receh
Sudah menjadi sifat manusia untuk kurang
menghargai terhadap sesuatu yang kurang bernilai seperti halnya uang receh.
Uang receh dengan nilai yang sangat kecil cenderung tidak begitu digunakan dalm transaksi
pembayaran sehari-hari. Esensi uang receh sebagai alat tukar agaknya mulai
dikesampingkan oleh mahasiswa. Rasa malu membuat uang receh kini menjadi jarang
digunakan oleh mahasiswa dalam melakukan kegiatan ekonominya dan memilih untuk
menghimpunnya . Justru di lain sisi makna
simbolik dari uang receh yang kini dikonsumsi oleh mahasiswa ini. Nilai
simbolik uang receh dirasa lebih mempunyai manfaat penting dalam memberikan
dampak pada kehidupan sosialnya. Dalam realitas sehari-hari saja paling mudah
kita temui tentang seseorag yang membeir pengemis dengan uang receh, itu sudah
merupakan symbol kepedulian dari seseorang yang memberi itu. Makna uang receh
itu tercipta ketika seseorang mempunyai persepsi sendiri-sendiri dalam memaknai
itu. Misalkan makna uang receh dalam kasus Prita tentu akan berbeda dengan makna
uang receh ketika kita membeli barang di toko. Fungsi dasar uang receh memang
sebagai alat pembayaran, tapi dibalik itu semua masyarakat tidak sadar bahwa mereka
sebenarnya memaknai uang receh dari segi simboliknya dari pada nilai tukarnya. Dari pemaknaan –pemaknaan diatas dapat
dilakukan suatu kontruksi mengenai makna
uang receh yang kini lebih dipandang sebagai suatu yang melambangkan symbol
sosial antara lain seperti berikut :
1. Uang
receh sebagai simbol perlawanan
2. Uang
receh sebagai simbol kepedulian
3. Uang
receh sebagai symbol Kebersamaan
4. Uang
receh sebagai symbol masyarakat kecil
5. Uang
receh sebagai media kritik
DAFTAR
PUSTAKA
Christopher
Norris.2009.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.Jakarta:Ar-Euss Media
Geoge
Ritzer-Douglas J.Goodman. 2008.Teori Sosiologi Modern( Edisi 6
).Jakarta:Kencana
Dekonstrusi Makna Uang Receh ( Kajian Etnografi )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:46:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Alkisah Socrates masuk Islam. Kemudian selagi ngabuburit di Indonesia
bersama gebetannya, datanglah waktu sholat maghrib. Maka Socrates
menyempatkan mampir di sebuah masjid. Sedangkan si pacar menunggu di
warung terdekat.
Lalu ia ikut sholat berjamaah. Karena baru
muallaf ia berusaha keras agar bisa terlihat tenang seperti orang Islam
lainnya. Dari awal hingga akhir, ia praktikkan semua ajaran yang ia
pelajari dari guru-guru atau buku-buku mengenai keIslaman. Karena basicnya
Socrates seorang filosuf, maka tidak terlalu sulit baginya untuk terus
menambah khazanah keilmuan agama barunya tersebut. Apalagi soal rukun
Islam yang di dalamnya terdapat perintah sholat lima waktu. Seluruh
referensi tentang salah satu kewajiban umat Islam itu terus tergali dan
tersimpan dalam benaknya lekat-lekat. Tinggal bagaimana ilmu-ilmu itu
dapat disinkronisasi dengan kondisi batin ketika sedang sholat, agar ia
dapat mengalami apa yang dinamakan khusyu’, demikian menurut
pendapatnya.
Ketika akhir salam dan sholat selesai, segera si
filosuf ini membaca zikir yang sesuai dengan apa yang ia pelajari dari
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tetapi tiba-tiba seseorang
mencolek bahunya terus menerus. Karena Socrates merasa terganggu, ia
torehkan pandangannya kepada si pencolek.
“Ada apa, Pak?” Tanya Socrates.
“Kalau habis sholat, salaman dulu sama yang di sebelah, depan dan belakang.” Jawab orang tersebut setengah berbisik.
“Bukannya kalau di teorinya habis sholat itu zikir ya, pak?” Ujar Socrates setengah berbisik.
“Yeee… Salaman dulu atuh.”
“Salaman bagian dari sholat ya pak?”
“Nggak afdhol nanti kalau nggak salaman.”
“Hah,
apa bener, pak?” Setengah kaget cengok dan merasa ritual meraih
kekhusyu’an yang susah payah dilakukannya pas sholat tadi gagal total.
“Iya bener, lihat tuh Kyainya saja di depan salaman, masak anda tidak. Anda belajar agama dari Kyai bukan?”
“Iya sih pak.”
“Nah, dimana-mana Kyai tuh habis sholat salaman, makanya kita juga harus begitu.”
“Ooo..” Socrates tertegun dengan ceramah dari seseorang disebelahnya yang ternyata merangkap Ustaz di masjid tersebut.
“Lagipula nanti kalau anda nggak salaman setelah sholat, bisa nggak mendapatkan berkah orang-orang yang sholat.”
“Oh, berkah ya pak, tapi kok gak ada tumpukan karton nasi-nasi.”
“Itu berkat, bukan berkah atuh. Beda lagi.”
“Iya,
iya, maaf pak, saya cuma baru tahu aja nih ilmu baru dari bapak,
biasanya di buku dan kitab-kitab tentang rukun dan tuntunan sholat Nabi,
nggak ada ritual salaman sehabis sholat, tapi baru tahu aja nih.”
“Nah, kan karena anda baru tahu maka amalkan. Mengamalkan amal baik itu kan berpahala, betul nggak?”
“Hmm… Hmmm…” Gumam Socrates seraya mengangguk-angguk meski masih ada beberapa pertanyaan bingung di kepalanya.
“Tapi pak, kalau pas saya sholat di sana, nggak ada salaman habis sholat kaya di sini?” Tanya Socrates.
“Di
sana berbeda, masjidnya saja beda, lagipula di sana pengamalan amal
sholihnya kurang, jadi nggak mau susah-susah, mau yang gampang dan
ringkas saja.”
“Jadi di sana nggak mau ngamalin amal sholih yang kecil-kecil seperti salaman habis sholat, ya pak.”
"Jangan
bilang-bilang ya, kalau kamu shalat di masjid dekat kampus yang itu
tuh, nanti kamu bisa dibilang sesat kalau sehabis shalat pakai salaman
segala."
"Ada juga ya pak yang kaya begitu?"
“Iya. Itu bedanya di sini dan di sana.”
“Memangnya di sana masjid apa, pak?”
“Ada
banyak, kalau di dekat poskamling, Masjid Muhammadiyah. Kalau di dekat
pasar, Masjid PKS. Kalau di samping lapangan Masjid Persis, kalau yang
suka sesat-sesat tadi masjid wahhabi namanya, terus sama yang di sini
nih, Masjid NU.”
“Ooo… Begitu. Oya Pak, ngomong-ngomong terima kasih, Pak. Saya mau pergi dulu.”
“Lho,
kok buru-buru? Obrolan kita belum selesai lho! Memangnya saudara mau
kemana sebenarnya?” Tanya Bapak itu mencegah lawan diskusinya untuk
beranjak pergi.
“Maaf Pak, Sepertinya saya salah masuk, padahal
tadi saya lagi cari masjid orang Islam, permisi. Punten, Pak.” Ujar
Socrates dengan nada sopan sambil ngeloyor pergi setelah permisi.
TES
4:54:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Kisah Socrates Jadi Muallaf
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
4:54:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Apa merek baju yang
Anda pakai? Levi's, Ralph Laurent, Cerruti, Calvin Klein, atau bikinan lokal
tapi bermerek asing seperti LEA atau Van Hausen. Baju memang tidak sekadar
penutup tubuh. Mungkin zaman dulu, iya. Kala itu, baju hanya berfungsi sebagai
penutup tubuh, itu juga kalau dibutuhkan. Tidak selalu. Dan sampai kini pun,
masih ada daerah di pedalaman di Jambi, Kalimantan, dan Papua, yang tidak
memakai baju. Kecenderungan yang umum sekarang, terutama di kota besar layaknya
ibukota seperti Jakarta maupun Solo , fungsi baju jauh dari sekadar penutup
tubuh, tetapi sudah menjadi simbol, sebuah simbol status sosial. Orang-orang
kaya biasanya memilih baju-baju bermerek untuk menunjukkan status kemampuannya.
Orang-orang yang perekonomiannya sedang, bahkan yang mepet, kadang ingin juga
tampil keren dengan baju merek terkenal. Tak heran kalau kemudian pemalsuan
menjamur. Maklum, mereka yang sedang-sedang saja itu hanya sanggup beli yang
palsu. Kalaupun yang asli, lari ke sisa ekspor.
Fenomena itu yang
sekarang terjadi dalam lingkungan mahasiswa kita. Mahasiswa dan Mahasiswi ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang
bermerek ( Pakaian ) mereka baik merek lokal maupun
merek Internasional juga. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda mereka
mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek ini. Ada yang memang
dari kalangan ekonomi atas ,menengah dan juga bawah semuanya terlibat dalam
konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, dan ada pula yang karena gengsi.
Satu peristiwa yang unik disini ketika Ada sosok mahasiswa dimana ia memaksa dirinya
untuk rela “ngirit” atau berhemat
dengan mengurangi pengeluaran makan demi mendapatkan barang –barang bermerek (
baju, celana. Jaket dan sepatu ) yang mereka inginkan. Hal ini menjadi menarik
untuk dikaji karena nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak
terlalu diperhatikan lagi dan yang
paling utama dicari mahasiswa ini adalah nilai simbolik dan prestisnya. Persoalan
ini menjadi begitu pelik melihat keadaan mayoritas masyarakat Indonesia
masih dalam jurang kemiskinan
yang sebenarnya sedang membutuhkan
suatu masyarakat dalam pola hidup yang
sederhana.
A. Analisis Menggunakan Teori Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya (Theodor Adorno)
Saat ini partisipasi
masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas
dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Adorno dengan “masyarakat komoditas”
(commodity society). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai
“masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama,
masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama
bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan.
Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah
konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan
operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari
barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi,
terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit
dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus
menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara,
melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan
kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka
sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita
kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama,
hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang
ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of
antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi”
(economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).
Seperti Halnya
Fenomena merek dikalangan mahasiswa ini,Pemilihan objek-objek konsumsi yang berupa
komoditi misalnya Pakaian
tidak lagi sekedar dilihat dari manfaat (nilai guna) dan harga
(nilai-tukar). Lebih dari itu, apa yang dikonsumsi kini melambangkan status,
prestise, dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan
nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan
dan kehormatan, menjadi komoditas yang banyak dicari untuk meneguhkan identitas
seseorang yang sebenarnya adalah sesuatu yang tidak mereka butuhkan ( kebutuhan
palsu ) . Inilah bentuk hasil Industri budaya ( yang dikatakan adorno
) yang membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran
mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu ini . Mahasiswa ini bukan lagi memuja suatu produk industri
budaya ( Pakaian ) yang secara nyata ada , tetapi pemujaan tersebut lebih
cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut.
Sedangkan Fetisisme
komoditasnya yaitu upaya yang dilakukan
industri sedemikian rupa hingga menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu
produk industri budaya kepada masyarakat. Misalnya Citra di iklan di televisi maupun media promosi dalam hal preferensi
kehidupan sosial masyarakat komoditi. Iklan berbasis visual dalam produksi
budaya menciptakan strategi-strategi promosi yang terkadang bersifat
hiperealitas dalam menentukan jenis,
nilai guna dan nilai tambah suatu produk yang bertujuan menggiring mahasiswa (
konsumn ) ini menuju suatu proses Konsusmsi . Contoh sederhana adalah konsep “ganteng”
tak lagi sebatas dengan ganteng secara fisik namun industry dan media ini
memodifikasi Konsep ganteng ini menjadi ganteng
itu ketika seseorang memakai pemakaian barang-barang yang bermerek mahal dan
terkenal , dan dan memberi penguatan- penguatan negative bila seseorang
tidak mengkonsumsinya. ( missal kalau
tidak memakai produk bermerek Star**** di disebut ketinggalan jaman atau kuno).
Akhrinya yang menentukan ‘Ganteng’ dan ‘tidak’nya adalah iklan televise ( media
) . Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan misinya tersebut hingga
orang ( Mahasiswa ) tidak menyadari apa yang tengah terjadi terhadapnya. Justru
Fakta lain muncul dimana Dengan dapat mengkonsumsi barang bermerek terkenal dan
mahal ini, seakan mereka mempunyai
kekuasaan untuk merendahkan seseorang yang tidak memakai apa yang mereka
konsumsi itu. Dan dampak buruknya lagi sesorang yang sedang dikuasai tersebut
malah menjadi termotivasi untuk berlomba-lomba mendapatkan merek yang lebih
dari yang ditunjukan pada mereka.
Refleksi :
Memang Dibenarkan
Selain simbol kestatusan, barang bermerek juga bisa menjadi simbol kredibilitas. Jika
mau bertemu dengan klien di hotel, misalnya, Anda perlu memakai baju yang
halus, licin, dan bermerek biar dia percaya akan kredibilitas kita. Bahwa
kredibiltas itu semu, tidak masalah dalam dunia yang hedonis seperti sekarang
ini. Menjadi sedikit diwajarkan jika kemudian banyak orang yang menghalalkan
segala cara agar dapat tampil keren. Mereka ingin diakui statusnya sebagai
orang yang tinggi strata sosialnya, mereka juga ingin diakui kredibilitasnya.
Apalagi mereka yang modal otaknya tak pas bandrol, maka penampilanlah yang jadi
senjata.
Kami menyimpulkan sebetulnya tidak menjadi masalah mengkonsumsi
barang bermerek ataupun tidak bermerek , dalam hal ini yang terpenting adalah nilai pakai dari barang tersebut yang disesuaikan dengan tingkat
ekonomi dan kebutuhan kita serta tidak menggunakanya untuk merendahkan orang
lain karena kita lahir dalam latar
belakang ekonomi dan lingkungan yang berbeda-beda.Ada yang Mampu ada yang serba
kekurangan. Tidak ada larangan untuk menikmati hidup yang hanya sekali ini.
Kalau memang senang barang bagus, kita bebas membeli dan memakainya. Senang
dengan segala bentuk kemewahan lainnya, silakan saja dan nikmatilah dengan
keluarga tercinta, tetapi ada bagusnya kalau kita tetap darling (sadar
lingkungan ) bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih berada di bawah kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003.
Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, danImplikasinya).
Yogyakarta: Kreasi Wacana
TES
9:11:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Fenomena Merek Dikalangan Mahasiswa
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:11:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980 an.
Fungsionalisme Struktural Talcot Person
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim.
Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah :
Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
Latency (pemeliharaan pola)
Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut :
Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut :
- Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung.
- Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
- Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
- Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
- Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
- Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistim.
- Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam.
Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.
Sistim Sosial
Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson mendifinisikan sistim sosial sebagai :
”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”.
Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim. Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang lebih luas.
Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada komponen-komponen strukturalnya seperti status- peran, kolektifitas, norma, dan nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari suatu sistim sosial menurut Parson adalah :
Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain.
Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan dukungan dari sistim yang lain.
Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.
Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.
Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera dikendalikan.
Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa.
Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan sistim sebagai satu kesatuan.
Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial, dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut. Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anak-anak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanak-kanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap berlaku seumur hidup.
Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini :
Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat.
Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak dapat menerima penyimpangan.
Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim.
Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama yang memungkinkan sistim sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim.
Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat sebagai :
· kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri,
· yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan kolektif dan individualnya,
· dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri.
Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu :
· Sistim Ekonomi
Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal.
· Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.
· Sistim Fiduciari
Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut.
· Komunitas Kemasyarakatan
Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat.
Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural.
Sistim Kultural
Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain.
Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak menjadi bagian dari kedua sistim itu.
Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan sistim tindakan yang lain.
Sistim Kepribadian
Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya.
Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan. Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting. Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai.
Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di antaranya adalah :
Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan sosial mereka.
Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural.
Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat.
Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu. Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir Parson.
Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson.
Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak aspek.
Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi sistim kepribadian dengan sistim sosial.
Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif.
Organisme Perilaku
Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson, didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner” yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi.
Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap.
Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif. Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi.
Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka sendiri.
Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau bahkan memperburuk proses evolusi.
Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagiann besar analisis struktural Parson.
Teori Struktural Fungsional Talcot Parson
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:51:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)