Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan
pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan.
Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah
dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
... "Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara. Makanya
aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola
kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas
dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku.
Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat
senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu
punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan
pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik
datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya.
Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu
pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta
dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah
kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar
dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi
lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di
depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia
permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan
menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu
identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan
membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak
kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat
Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat
senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan
Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat
lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatan Kranos,
wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan
semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya.