Kedukaan bisa datang dari ucapan yang tidak
direncanakan, atau telinga yang lupa menutup diri. Aku sering mengalami ini.
Berbincang dengan rekan-rekan, saling melempar canda, lalu, dari saling cerita
itu, "gosip" bisa diam-diam menyelinap. Dan luka datang tanpa dipanggil.
"Eh, tahu nggak , Biru, aku mendengar sesuatu
tentang Pipit. dia ternyata tidak sebersih yang kita kira...." atau, "Kayaknya,
dia tidak seikhlas itu deh, dulu dia pernah..."
Lama-lama aku sadari, selinapan "gosip" ini menjadi
beban yang luar biasa. Syak-wasangka, purbaduga, benci, bisa datang dengan
begitu indahnya, yang bahkan tanpa membutuhkan --mengikuti prinsip jurnalisme--
verifikasi. "Gosip" diterima menjadi sebuah kebenaran baru, sebagai kejutan yang
menggairahkan dalam memandang seseorang. Dan anehnya, entah kenapa, kadang benci
bisa jadi begitu mengasyikkan. bermain dalam ketidakjelasan, menduga-kira,
memanjangkan khayal dari secuil info, menebak keseluruhan hidup teman dari
puzzle sas-sus, lalu "merasa" tahu tentang sesuatu yang dia sembunyikan,
hmm... bisa memancing rasa bangga. Betapa aneh, karena kadang rasa bangga itu
bertaut dengan kedukaan ketika menyadari bahwa "diriku" ternyata masih bisa
dibohongi.
Tapi, darimana muncul "rasa dibohongi" itu? Darimana
lahir kedukaan karena menyadari sahabat tidak seideal yang aku bayangkan? Ya,
dari cerita-cerita yang seharusnya tidak aku dengar. Cerita-kabar yang memang
tidak menjadi milikku.
Karena itu, ketika tadi pagi, seorang teman dengan
tergopoh-gopoh membuyarkan mimpiku, hanya karena ingin berbagi kabar tentang
Non, aku marah. Aku menolak kehadirannya. Aku tidak mau dengar sesuatu yang
bukan menjadi hakku. Tapi dia memaksa, "Ini demi masa depan kamu. Kamu harus
dengar kabar ini, penting banget..."
Sempat sedikit ragu menguasai benakku. Ada apa dengan
Non? Adakah sesuatu tentangnya yang tidak aku ketahui? Tapi, lintasan ragu itu
segera kuhapus. Aku tepuk bahu sobatku, yang mungkin bermaksud baik. Lalu,
sambil duduk, aku sorongkan rokok. "Merokoklah," kataku. "Sebelum kamu
ngomongin Non, biarlah aku yang bercerita dulu. Jika sesudah ceritaku ini
kamu masih tetap mau ngomongin Non, aku akan mencoba mendengar."
Temanku itu setuju. Aku pun bercerita tentang Socrates.
******
Suatu pagi, seorang pria mendatangi Sokrates, dan dia berkata, "Tahukah Anda
apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?"
"Tunggu sebentar," jawab socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya
ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. ujian tersebut dinamakan saringan tiga
kali."
"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.
"Betul," lanjut Socrates. "Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman
saya, mungkin merupakan hal yang bagus bagi kita untuk menyediakan waktu sejenak
dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai
saringan tiga kali.
"Saringan yang pertama adalah kebenaran. Sudah pastikah bahwa apa yang
anda akan katakan kepada saya adalah kepastian kebenaran?"
"Tidak," kata pria tersebut, "Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan
ingin memberitahukannya kepada Anda".
"Baiklah," kata Socrates. "Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar
atau tidak. Hmm... sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu kebaikan.
Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu
yang baik?"
"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".
"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang
buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin kalau itu benar. hmmm... Baiklah
Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu kegunaan. Apakah
yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna
buat saya?"
"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Kalau begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada
saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa
ingin menceritakan kepada saya?"
"Bagaimana?" tanyaku pada si teman, "Ada berita apa tentang Non?"
"Ahh, nggak ada apa-apa. thanks ya, rokok kamu enak," katanya,
dan pergi setelah menepuk pundakku.