Home
»
Posts filed under
Teori
Apa itu gender?
Apa perbedaan gender dan seks?
GENDER
Bisa berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung musim
Tergantung budaya masing masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat)
SEKS
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
Sumber Referensi :
Dr.Riant Nugroho."Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia". 2008.Pustaka Pelajar:Yogyakarta TES 9:28:00 PM NJW Magz Bandung Indonesia
Pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya. Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan
ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang)
dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat.
WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku,
kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan,
yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat.”
Dari definisi diatas Dapat Disimpulkan bahwa Gender adalah suatu perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Contoh Bagaimana seharusnya seorang laki2 dan perempuan itu misal, laki2 dikenal dengan sosok yang perkasa kuat dan raisonal sedangkan perempuan lebih lekat dengan jiwa yang feminin, cantik, lemah lembut dan emosional . semua ciri2 diatas dapat dipertukarkan contoh ada juga diluarsana laki2 yang lemah lembut dan ada juga perempuan yang kuat dan rasional semuanya tergantung pada tempat dan waktunya masing2.
Konsep gender ini berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan
sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. misal seorang perempuan punya alat reproduksi dan menyusui, sedangkan laki2 adalah manusia yang mempunyai jakun dan ciri2 biologis lainya
Apa perbedaan gender dan seks?
GENDER
Bisa berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung musim
Tergantung budaya masing masing
Bukan kodrat (buatan masyarakat)
SEKS
Tidak bisa berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui
Sumber Referensi :
Dr.Riant Nugroho."Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia". 2008.Pustaka Pelajar:Yogyakarta TES 9:28:00 PM NJW Magz Bandung Indonesia
Sekilas Tentang Gender
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
9:28:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Tradisi ‘Mudik alias Pulang Kampung’
tentunya sudah familiar di telinga kita. Mudik merupakan agenda akhir tahunan pada setiap menjelang hari lebaran.
Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan
sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa
kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan
komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Mereka senantiasa sangat antusias untuk
melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. tak peduli harus
membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran,
harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang
tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan
berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan
fenomena seperti ini. Hal itu bisa dilihat (potret) melalui media massa
elektronik TV, antrian begitu padat yang ada di terminal, stasiun,
pelabuhan, maupun yang ada di bandara.
Secara terminus dan berbagai sumber yang ada bahwa istilah mudik berasal dari kata “udik “yang
berarti kampung atau desa. Jika diartikan secara umum bahwa mudik
berarti balik atau pulang ke daerah asal. Sedangkan mudik menurut Kamus
Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976) adalah
pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya
hari lebaran. Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar
orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di
kota besar metropolitan.
Faktor Pendorong
Tak di pungkiri bahwa era sekarang di
sebut sebagai era IPTEK (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan
menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM (blackberry),
internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk
yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika
melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan
untuk di jangkau oleh seseorang. Tetapi masyarakat merasa bahwa
komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental
(alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.
Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito,
ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan
tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum
menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada
pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan
orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi :1.
Mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan
tetangga.2. Terapi psikologis 3. lebaran untuk refreshing dari
rutinitas pekerjaan sehari-hari 3. Mengingat asal usul 4. Unjuk diri,
bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Makna Sosio-Kultural
Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi.
Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang bercirikan sebagai nuclear family
(keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang
namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman,
bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani. Di
samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak
tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat
mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orang tua tercinta
maupun sanak keluarga yang ada.
Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka
jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang
bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya
yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya
pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka
bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain,
bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang
di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi
dengan lingkungan sosial.
Tentunya, hal tersebut terjadi karena
rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti
apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai “robopaths”. Robopaths
telah kehilangan kreatifitas dan inovatif. Bagi penulis, tanpa maksud
untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada
dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.
Untuk itu dalam kesempatan tertentu
seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian
pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan
merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir
suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan
tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada
di kampung halaman.
Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu,
akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan
makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain
(Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow
merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow
kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang
penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala
kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.
Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917)
disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan
melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan
sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa
saling melupakan silaturahmi antar sesama.
Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact),
dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di
sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta
dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di
lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat
ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu
ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap
perasaan yang ingin di sampaikan, hal senada di katakan Maryati dan Suryawati (2003).
Momen seperti ini jarang kemudian
terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi
yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik
dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian
kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat.
Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling
memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang
sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat
sosial kemasyarakatan.
Selamat Mudik
sumbere referensi : Kompasiana
TES
11:08:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Tradisi Mudik dan Maknanya dalam perspektif Sosiologi
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
11:08:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980 an.
Fungsionalisme Struktural Talcot Person
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim.
Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah :
Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
Latency (pemeliharaan pola)
Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut :
Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut :
- Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung.
- Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
- Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
- Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
- Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
- Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistim.
- Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam.
Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.
Sistim Sosial
Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson mendifinisikan sistim sosial sebagai :
”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”.
Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim. Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang lebih luas.
Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada komponen-komponen strukturalnya seperti status- peran, kolektifitas, norma, dan nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari suatu sistim sosial menurut Parson adalah :
Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain.
Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan dukungan dari sistim yang lain.
Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.
Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.
Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera dikendalikan.
Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa.
Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan sistim sebagai satu kesatuan.
Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial, dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut. Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anak-anak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanak-kanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap berlaku seumur hidup.
Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini :
Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat.
Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak dapat menerima penyimpangan.
Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim.
Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama yang memungkinkan sistim sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim.
Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat sebagai :
· kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri,
· yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan kolektif dan individualnya,
· dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri.
Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu :
· Sistim Ekonomi
Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal.
· Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.
· Sistim Fiduciari
Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut.
· Komunitas Kemasyarakatan
Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat.
Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural.
Sistim Kultural
Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain.
Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak menjadi bagian dari kedua sistim itu.
Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan sistim tindakan yang lain.
Sistim Kepribadian
Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya.
Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan. Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting. Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai.
Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di antaranya adalah :
Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan sosial mereka.
Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural.
Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat.
Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu. Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir Parson.
Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson.
Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak aspek.
Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi sistim kepribadian dengan sistim sosial.
Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif.
Organisme Perilaku
Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson, didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner” yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi.
Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap.
Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif. Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi.
Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka sendiri.
Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau bahkan memperburuk proses evolusi.
Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagiann besar analisis struktural Parson.
Teori Struktural Fungsional Talcot Parson
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:51:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead
(1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya
adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological
Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis
dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang
aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind),
namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun
sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut
bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai
dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap,
realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana
dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari
interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu
saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung
antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan
tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain.
Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara
stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang
aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.
Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke
arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang
berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap
bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok
dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.[4]
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi
sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari
kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan
yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi
intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I
Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian
Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di
sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita
akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis
ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang
dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ
Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme
simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep
Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak
di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian
gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan
melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama
sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk
manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di
tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses
pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint
Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan
masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut
Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang
salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah
semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti”
dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’
adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu
psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah
berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan
teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran
kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme
simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang
telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari
individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi
yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori
Interaksionisme Simbolik.
Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah
tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri
atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan
sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan
sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat
demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley
berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial
abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada
aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari
perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley
berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai
individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,
namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan
penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia
secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki
pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang
individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka
proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”
Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu
maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang
saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan.
”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling
bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya
membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda
pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya
pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk
memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung
melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang
saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang
bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang
Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang
utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum.
Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari
masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga
merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil
dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol,
kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi
mental dari individu-individu dan dipelihara melalui
kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan
secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita
(familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika
institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi
mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial,
namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya
terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu
“Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan
fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama,
Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai
diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana
yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001.
Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta:
Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
TES
7:40:00 PM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Interaksionisme Simbolik ( Mead )
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:40:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Asumsi Dasar
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Sejarah Awal
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
- Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
- Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Teori konflik
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:37:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Teori struktural fungsional mengedepankan suatu perspektif yang
menekankan harmonisasi dan regulasi yang dikembangkan berdasarkan
sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikembangkan lebih jauh
sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya;
2. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasikan;
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, namun sistem sosial akan senantiasa berproses kea rah itu;
4. Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner;
5. Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu;
6. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatik.
Menurut penganut teori struktural fungsional, kontrol terhadap efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat perlu dipahami, dikembangkan, dan ditindaklanjuti untuk menciptakan keteraturan tatanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan dorongan terhadap perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan pada upaya menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empiris. Teori ini bercorak pragmatis dalam orientasinya, sehingga pendekatan yang dipilih lebih mengarah pada upaya pemecahan masalah yang dalam mengoperasikan nya, para eksponen teori struktural fungsional lebih mengedepankan komitmen mereka yang kuat terhadap prinsip-prinsip rekayasa sosial, dan rekayasa tersebut dimulai dari sekelompok elit. Hasil rekayasa elit itu kemudian disebarkan kepada masyarakat luas melalui proses difusi secara bertahap. Focus dari teori ini adalah dalam upaya menjelaskan status quo, tertib sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas, dan aktualitas. Tokoh-tokohnya adalah Auguste Comte, Herbert Spencer, Charles Darwin, Robert K. Merton, Talcott Parsons, Durkheim dan lain-lain.
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya;
2. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasikan;
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, namun sistem sosial akan senantiasa berproses kea rah itu;
4. Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner;
5. Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu;
6. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatik.
Menurut penganut teori struktural fungsional, kontrol terhadap efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat perlu dipahami, dikembangkan, dan ditindaklanjuti untuk menciptakan keteraturan tatanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan dorongan terhadap perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan pada upaya menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empiris. Teori ini bercorak pragmatis dalam orientasinya, sehingga pendekatan yang dipilih lebih mengarah pada upaya pemecahan masalah yang dalam mengoperasikan nya, para eksponen teori struktural fungsional lebih mengedepankan komitmen mereka yang kuat terhadap prinsip-prinsip rekayasa sosial, dan rekayasa tersebut dimulai dari sekelompok elit. Hasil rekayasa elit itu kemudian disebarkan kepada masyarakat luas melalui proses difusi secara bertahap. Focus dari teori ini adalah dalam upaya menjelaskan status quo, tertib sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas, dan aktualitas. Tokoh-tokohnya adalah Auguste Comte, Herbert Spencer, Charles Darwin, Robert K. Merton, Talcott Parsons, Durkheim dan lain-lain.
Pokok Teori struktural fungsional
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
7:20:00 PM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Mazhab Frankfurt atau
Mazhab Teori Kritis yang sudah mulai lazim dikenal di kalangan
akademis, sesungguhnya adalah mazhab pemikiran di Jerman yang muncul
sekitar 1923. Disebut Mazhab Frankfurt, karena pada awalnya mazhab ini
berasal dari Universitas FrankfurtInstitut fur Socialforchung (Institut Penelitian Sosial) yang merupakan jurusan resmi di universitas tersebut.oleh sebuah lembaga yang bernama
Mark Horkheimer adalah filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Ia bahkan sempat menjabat sebagai Direktur Institut fur Socialforchung.
Walaupun Horkheimer bukan pemikir paling cemerlang dari mazhab ini,
tapi lewat Horkheimerlah, Mazhab Frankfurt memiliki justifikasi untuk
menjadi mazhab tersendiri dalam ilmu pengetahuan.
Generasi
pertama Mazhab Frankfurt adalah Mark Horkheimer, Theodor Adorno, Walter
Benjamin dan Herbert Marcuse. Sedangkan generasi kedua dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf paling cemerlang dari mazhab ini.
Kritik Terhadap Positivisme
Masuknya
Mazhab Frankfurt ke dalam aliran pemikiran, memiliki arti terjadinya
suatu pembalikan tradisi pemikiran sebelumnya, yaitu: positivisme.
Pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha memperjelas secara rasional
kehidupan manusia moderen dan melihat akibat-akibatnya dalam kemanusiaan
dan dalam kebudayaan, serta mengkritisi pemikiran-pemikiran abad ke-18
berkaitan dengan penerapan positivisme, masa pencerahan (aukflarung) yang menjadikan manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, tapi diperbudak oleh mesin, sehingga tidak bebas dan merdeka.
Positivisme
sebagai paham keilmuan meyakini puncak ilmu pengetahuan manusia adalah
ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), dan
ciri-cirinya antara lain: pertama, ilmu adalah bebas nilai; kedua,
pengetahuan yang absah hanya pada fenomena semesta. Metafisika yang
mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah; ketiga, semesta direduksi menjadi fakta yang dapat dipersepsi; keempat, paham tentang keteraturan peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan di luar ketentuan tersebut; kelima, semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin.
Mazhab
Frankfurt tidak bersepaham dengan pandangan ini. Mazhab Frankfurt
memandang ilmu pengetahuan moderen yang dilatar-belakangi saintisme atau
positivisme sudah menghasilkan masyarakat yang irrasional, ideologis
dan terasing.
Bencana Modernitas
Kecuali
itu, sebagaimana yang sudah disebut di atas, berkembangnya positivisme
dan proyek pencerahan mengubah fungsi tenaga manusia dengan mesin. Hal
ini agaknya disadari betul oleh Horkheimer dan Adorno – sebagai dua
pemikir Mazhab Frankfurt generasi pertama – di mana dirasakan kemenangan
yang diperoleh merupakan kemenangan yang penuh bencana.
Hal
yang juga mengerikan dari proyek pencerahan dan akibat positivisme
adalah menggunakan alam sebagai instrumen untuk menindas sesama manusia.
Krisis lingkungan juga adalah akibat buruk dari kecenderungan demikian.
Penemuan bom, senjata nuklir dan sebagainya yang harusnya dipakai untuk
mewujudkan perdamaian, justru dipandang sebagai bentuk persenjataan
yang lebih efektif, sehingga apa yang dimaui manusia untuk dipelajari
dari alam adalah bagaimana menguasai alam, mengeksploitasinya dan pada
akhirnya menjajah sesamanya.
Saat
ini manusia moderen yang mengandaikan pencerahan nyatanya sudah
kehilangan kekritisannya dan seolah-olah hanya berpijak pada satu nilai
dimensi kebenaran. Kebenaran itupun adalah kebenaran positivisme yang
absurd, karena mengagungkan aspek fungsional belaka dan tak melihat
substansi yang ada di dalamnya.
Akibatnya,
manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, seni dan filsafat, pemikiran dan
laku sehari-hari, sistim politik, ekonomi dan penerapan teknologi hanya
berjalan di permukaan belaka, sehingga tidak pernah merasakan ada yang
tidak beres dengan kehidupan yang mereka jalani. Mereka seolah-olah
sudah merasa nyaman dengan satu dimensi dari kehidupan moderen mereka,
yang sejatinya tidak dipungkiri adalah bibit-bibit bencana baginya,
lingkungan dan sesamanya itu, juga ancaman bagi gnerasi-generasi mereka
selanjutnya.
TES
1:09:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
Teori Kritis dan Sejarah
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
1:09:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
PENYUSUNAN RANCANGAN PENELITIAN SOSIAL
A. Penalaran
Sesuai dengan kodratnya manusia dibekali dengan hasrat ingin tahu.
Dengan adanya hasrat ingin tahu itu dalam diri manusia selalu muncul
berbagai macam pertanyaan. Sebagai akibatnya, manusia juga selalu
berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul tadi. Hasrat ingin
tahu tersebut akan terpenuhi apabila manusia memperoleh pengetahuan baru
atau mampu memecahkan masalah sebagai jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan sendiri.
Biasanya manusia selalu berpikir jika berhadapan dengan banyak
permasalahan. Akan tetapi, tidak semua masalah membuat kita terdorong
untuk memikirkannya secara sungguh-sungguh. Kegiatan berpikir tentang
sesuatu secara sungguh-sungguh dan logis inilah yang biasanya disebut
penalaran.
Menurut John Dewey, proses penalaran manusia melalui tahapan sebagai berikut.
a. Timbulnya rasa kesulitan, baik dalam bentuk kesulitan penyesuaian terhadap suatu peralatan, kesulitan mengenai sifat, ataupun kesulitan dalam menerangkan berbagai hal yang muncul secara tiba-tiba.
b. Perasaan kesulitan ini selanjutnya diberi definisi dalam bentuk permasalahan
c. Ide-ide pemecahan tersebut diuraikan secara rasional dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
d. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkan baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan
a. Timbulnya rasa kesulitan, baik dalam bentuk kesulitan penyesuaian terhadap suatu peralatan, kesulitan mengenai sifat, ataupun kesulitan dalam menerangkan berbagai hal yang muncul secara tiba-tiba.
b. Perasaan kesulitan ini selanjutnya diberi definisi dalam bentuk permasalahan
c. Ide-ide pemecahan tersebut diuraikan secara rasional dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
d. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkan baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan
Suatu penalaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Logis, suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya pemikiran yang ditimbang secara objektif dan didasarkan pada data yang shahih.
b. Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya imajinatif seseorang dalam merangkai, menyusun, atau menghubungkan petunjuk-petunjuk akal pikirannya ke dalam suatu pola tertentu.
c. Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu fakta atau kenyataan yang memang dapat dipikirkan secara mendalam
a. Logis, suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya pemikiran yang ditimbang secara objektif dan didasarkan pada data yang shahih.
b. Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya imajinatif seseorang dalam merangkai, menyusun, atau menghubungkan petunjuk-petunjuk akal pikirannya ke dalam suatu pola tertentu.
c. Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu fakta atau kenyataan yang memang dapat dipikirkan secara mendalam
Penalaran merupakan salah satu cara memperoleh pengetahuan. Penalaran dapat dilakukan melalui tiga cara berikut.
a. Deduktif
adalah suatu cara berpikir ilmiah yang bertolak dari pernyataan atau
alasan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus dengan
menggunakan kaidah logika tertentu. Penalaran deduktif dilakukan melalui
serangkaian pernyataan yang disebut silogisme dan terdiri atas beberapa
unsur berikut.
Dasar pemikiran utama (premis mayor)
Dasar pemikiran kedua (premis minor)
Kesimpulan
Contoh:
Premis mayor : semua siswa SMA kelas X wajib mengikuti pelajaran sosiologi
Premis minor : Tuti adalah siswi kelas X SMA
Kesimpulan : Tuti wajib mengikuti jam pelajaran sosiologi
Dasar pemikiran utama (premis mayor)
Dasar pemikiran kedua (premis minor)
Kesimpulan
Contoh:
Premis mayor : semua siswa SMA kelas X wajib mengikuti pelajaran sosiologi
Premis minor : Tuti adalah siswi kelas X SMA
Kesimpulan : Tuti wajib mengikuti jam pelajaran sosiologi
b. Induktif
Cara ini sangat berbeda dengan deduktif, sebab memulai suatu
penalaran dari hal-hal atau pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus
untuk mementukan kesimpulan atau hukum yang bersifat mum. Dalam
penalaran induktif, kesimpulan ditarik dari sekumpulan fakta, peristiwa,
atau pernyataan yang bersifat khusus. Misalnya setiap manusia yang
diamati akan merasa lapar jika tidak makan apapun selama 12 jam. Oleh
sebab itu disimpulkan bahwa manusia akan merasa lapar jika tidak makan
selama 12 jam.
c. Pendekatan ilmiah
Merupakan gabungan antara cara penalaran deduktif dan induktif. Dalam
pendekatan ilmiah, penalaran disertai suatu dugaan sementara
(hipotesis).
B. Definisi Penelitian
Menurut Kamus Webster’s international penelitian adalah penyelidikan
yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta serta prinsip-prinsip atau
suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu.
Penelitian adalah usaha memperoleh fakta atau prinsip dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan jelas, teliti, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai akibat definisi di atas, penelitian mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Bersifat ilmiah, artinya dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan fakta harus diperoleh secara objektif
b. Merupakan suatu proses yang berjalan terus- menerus, karena hasil suatu penelitian harus dapat disempurnakan lagi.
Penelitian adalah usaha memperoleh fakta atau prinsip dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan jelas, teliti, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai akibat definisi di atas, penelitian mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Bersifat ilmiah, artinya dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan fakta harus diperoleh secara objektif
b. Merupakan suatu proses yang berjalan terus- menerus, karena hasil suatu penelitian harus dapat disempurnakan lagi.
C. Sikap dan Syarat Seorang Peneliti
Keberhasilan penelitian yang dilakukan akan tergantung pada sikap dan cara berpikir si peneliti.
1. Cara berpikir
a. Berpikir skeptis, artinya peneliti harus selalu menanyakan bukti atau fakta.
b. Berpikir analitis, artinya peneliti harus selalu menganalisis setiap pernyataan atau persoalan yang dihadapi.
c. Berpikir kritis, artinya peneliti harus selalu mendasarkan pikiran dan pendapatnya pada logika.
a. Berpikir skeptis, artinya peneliti harus selalu menanyakan bukti atau fakta.
b. Berpikir analitis, artinya peneliti harus selalu menganalisis setiap pernyataan atau persoalan yang dihadapi.
c. Berpikir kritis, artinya peneliti harus selalu mendasarkan pikiran dan pendapatnya pada logika.
Sikap-sikap lain
a. Bersikap objektif, artinya si peneliti harus dapat memisahkan pendapat pribadi dengan kenyataan.
b. Kompeten artinya seorang peneliti harus memiliki kompetensi (kemampuan) menyelenggarakan penelitian dengan menggunakan metode dan teknik penelitian tertentu.
c. Faktual, artinya seorang peneliti harus bekerja dengan menggunakan fakta.
d. Jujur, seorang peneliti tidak memasukkan keinginannya sendiri ke dalam data.
e. Terbuka, seorang peneliti bersedia memberikan bukti penelitian dan siap menerima pendapat pihak lain tentang hasil penelitiannya.
a. Bersikap objektif, artinya si peneliti harus dapat memisahkan pendapat pribadi dengan kenyataan.
b. Kompeten artinya seorang peneliti harus memiliki kompetensi (kemampuan) menyelenggarakan penelitian dengan menggunakan metode dan teknik penelitian tertentu.
c. Faktual, artinya seorang peneliti harus bekerja dengan menggunakan fakta.
d. Jujur, seorang peneliti tidak memasukkan keinginannya sendiri ke dalam data.
e. Terbuka, seorang peneliti bersedia memberikan bukti penelitian dan siap menerima pendapat pihak lain tentang hasil penelitiannya.
Menurut Whitney (1960) ada beberapa kriteria yangharus dimiliki oleh seorang peneliti, yaitu sebagai berikut.
a. Daya nalar. Seorang peneliti harus memiliki daya nalar yang tinggi, yaitu kemampuan untuk memberi alasan dalam memecahkan masalah, baik secara induktif maupun deduktif.
b. Orisinalitas. Seorang peneliti harus mempunyai daya khayal ilmiah dan kreatif. Peneliti harus brilian, mempunyai inisiatif yang terencana, serta harus penuh dengan ide-ide rasional dan menghidnarkan peniruan atau jiplakan.
c. Daya ingat. Seorang peneliti harus mempunyai daya ingat yang kuat, selalu ekstensif dan logis, serta dapat dengan sigap melayani serta menguasai fakta.
d. Kewaspadaan. Peneliti harus secara cepat dapat melakukan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi atas suatu variabel atau sifat suatu fenomena.
e. Akurat. Peneliti harus mempunyai tingkat pengamatan serta perhitungan yang akurat, tajam dan beraturan.
f. Konsentrasi. Seorang peneliti harus memiliki kekuatan untuk berkonsentrasi yang tinggi, kemauan yang besar, dan tidak cepat merasa bosan.
g. Dapat bekerja sama. Seorang peneliti harus mempunyai sifat kooperatif sehingga dapat bekerja sama dengan siapapu, serta harus mempunyai keinginan untuk berteman secara intelektual dan dapat bekerja secara kelompok (team work).
h. Kesehatan. Seorang peneliti harus sehat baik jiwa maupun fisiknya.
i. Pandangan moral. Seorang peneliti harus mempunyai kejujuran intelektual, kejujuran moral, beriman dan dapat dipercaya.
a. Daya nalar. Seorang peneliti harus memiliki daya nalar yang tinggi, yaitu kemampuan untuk memberi alasan dalam memecahkan masalah, baik secara induktif maupun deduktif.
b. Orisinalitas. Seorang peneliti harus mempunyai daya khayal ilmiah dan kreatif. Peneliti harus brilian, mempunyai inisiatif yang terencana, serta harus penuh dengan ide-ide rasional dan menghidnarkan peniruan atau jiplakan.
c. Daya ingat. Seorang peneliti harus mempunyai daya ingat yang kuat, selalu ekstensif dan logis, serta dapat dengan sigap melayani serta menguasai fakta.
d. Kewaspadaan. Peneliti harus secara cepat dapat melakukan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi atas suatu variabel atau sifat suatu fenomena.
e. Akurat. Peneliti harus mempunyai tingkat pengamatan serta perhitungan yang akurat, tajam dan beraturan.
f. Konsentrasi. Seorang peneliti harus memiliki kekuatan untuk berkonsentrasi yang tinggi, kemauan yang besar, dan tidak cepat merasa bosan.
g. Dapat bekerja sama. Seorang peneliti harus mempunyai sifat kooperatif sehingga dapat bekerja sama dengan siapapu, serta harus mempunyai keinginan untuk berteman secara intelektual dan dapat bekerja secara kelompok (team work).
h. Kesehatan. Seorang peneliti harus sehat baik jiwa maupun fisiknya.
i. Pandangan moral. Seorang peneliti harus mempunyai kejujuran intelektual, kejujuran moral, beriman dan dapat dipercaya.
E. Macam-macam penelitian
1. Menurut tujuannya
Menurut tujuannya penelitian dibagi atas penelitian murni dan penelitian terapan.
a. Penelitian murni adalah dasar penelitian yang bertujuan menemukan suatu generalisasi atau keumuman dan berusaha menemukan dalil atau teori yang berlaku secara umum.
b. Penelitian terapan adalah penelitian yang berusaha mengumpulkan informasi atau data-data unuk membantu memecahkan suatu perosalan dalam kehidupan sehari-hari.
a. Penelitian murni adalah dasar penelitian yang bertujuan menemukan suatu generalisasi atau keumuman dan berusaha menemukan dalil atau teori yang berlaku secara umum.
b. Penelitian terapan adalah penelitian yang berusaha mengumpulkan informasi atau data-data unuk membantu memecahkan suatu perosalan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menurut tingkat analisis data
a. Penelitian eksplorasi adalah penelitian yang berupaya mendapatkan informasi mencasar tentang suatu permasalahan, yang belum pernah atau masih jarang diteliti.
b. Penelitian Pengembangan adalah penelitian yang memperluas dan menggali lebih dalam suatu relitas atau problem yang sudah ada.
c. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang memberikan penjelasan tentang ciri-ciri suatu keadaan yang diteliti. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak memberikan simpulan umum, peneliti hanya memaparkan, memberikan gambaran, melaporkan suatu objek, keadaan atau peristiwa.
d. Penelitian Eksplanasi adalah penelitian yang menjelaskan alasan terjadinya suatu peristiwa dengan cara menganalisis hubungan antara variabel yang satu dan lainnya yang diteliti.
e. Penelitian Inferensial adalah penelitian yang tidak hanya melukiskan suatu peristiwa, tetapi juga mengambil simpulan umum dari masalah yang tengah dibahasnya.
f. Penelitian Prediksi adalah penelitian yang mencoba menggambarkan dan menjelaskan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa pada masa datang.
a. Penelitian eksplorasi adalah penelitian yang berupaya mendapatkan informasi mencasar tentang suatu permasalahan, yang belum pernah atau masih jarang diteliti.
b. Penelitian Pengembangan adalah penelitian yang memperluas dan menggali lebih dalam suatu relitas atau problem yang sudah ada.
c. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang memberikan penjelasan tentang ciri-ciri suatu keadaan yang diteliti. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak memberikan simpulan umum, peneliti hanya memaparkan, memberikan gambaran, melaporkan suatu objek, keadaan atau peristiwa.
d. Penelitian Eksplanasi adalah penelitian yang menjelaskan alasan terjadinya suatu peristiwa dengan cara menganalisis hubungan antara variabel yang satu dan lainnya yang diteliti.
e. Penelitian Inferensial adalah penelitian yang tidak hanya melukiskan suatu peristiwa, tetapi juga mengambil simpulan umum dari masalah yang tengah dibahasnya.
f. Penelitian Prediksi adalah penelitian yang mencoba menggambarkan dan menjelaskan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa pada masa datang.
3. Menurut tempat pengambilan data
a. Penelitian Laboratorium merupakan penelitian yang dilakukan di tempat khusus untuk menghasilkan suatu simpulan.
b. Penelitian Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
c. Penelitian Perpustakaan merupakan penelitian yang berdasarkan pada buku-buku, naskah-naskah, dokumen, majalah, catatan di perpustakaan untuk mengumpulkan data dan informasi penelitian.
b. Penelitian Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
c. Penelitian Perpustakaan merupakan penelitian yang berdasarkan pada buku-buku, naskah-naskah, dokumen, majalah, catatan di perpustakaan untuk mengumpulkan data dan informasi penelitian.
4. Menurut pendekatannya
a. Penelitian survei. Pada umumnya dilakukan untuk membuat
generalisasi dari suatu pengamatan terbatas menjadi simpulan yang
berlaku umum bagi populasi.
b. Penelitian Kualitatif. Dilakukan untuk memahami fenomena sosial untuk pandangan pelakunya. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi partisipasi, wawancara secara mendalam, dan metode lain yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna mengungkapkan sebab dan proses terjadinya peristiwa yang dialami objek penelitian.
c. Penelitian Kuantitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data berupa angka-angka yang dianalisis dengan menggunakan statistik.
d. Penelitian Historis dilakukan untuk dapat merekonstruksi dan mengaktualisasikan kembali peristiwa dan perkembangan masyarakat yang terjadi pada masa lampau.
e. Penelitian Kebijakan adalah penelitian yang bertujuan menghasilkan alternatif rekomendasi kebijakan dengan cakupan luas.
TES
3:04:00 AM
NJW Magz
Bandung Indonesia
b. Penelitian Kualitatif. Dilakukan untuk memahami fenomena sosial untuk pandangan pelakunya. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi partisipasi, wawancara secara mendalam, dan metode lain yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna mengungkapkan sebab dan proses terjadinya peristiwa yang dialami objek penelitian.
c. Penelitian Kuantitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data berupa angka-angka yang dianalisis dengan menggunakan statistik.
d. Penelitian Historis dilakukan untuk dapat merekonstruksi dan mengaktualisasikan kembali peristiwa dan perkembangan masyarakat yang terjadi pada masa lampau.
e. Penelitian Kebijakan adalah penelitian yang bertujuan menghasilkan alternatif rekomendasi kebijakan dengan cakupan luas.
Penelitian Sosial
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)
Updated at:
3:04:00 AM
TES
»
Sinau Sosiologi (Belajar Sosiologi)